Bila Nanti Kau Tak Kembali

Sayidina Ali
Chapter #10

Waktu-Waktu Terakhir Bersamamu

Aku mulai mengenalnya di tengah banyaknya orang yang berbuat jahat. Perundungan sudah menjadi hal yang lumrah di negeri ini, terutama bagi mereka yang lahir dari keluarga miskin—apalagi jika diketahui pernah hidup sebagai anak gelandangan. Satu kelas menjauhinya, bahkan tak jarang mencemoohnya. Sejak saat itu, aku menjadi satu-satunya orang yang selalu ada di sisinya.

Dia adalah Maharani, seorang gadis mungil dengan wajah yang sering terlihat kusam. Banyak yang merasa tidak nyaman berada di dekatnya, alasannya sederhana tetapi kejam—beberapa kali dia terlihat mengenakan pakaian yang sudah kotor dan berbau. Tak jarang ada yang dengan sengaja menyindir, menuduhnya sebagai penyebab bau di ruang kelas, karena dia kerap membawa makanan yang sudah basi untuk dimakan.

Aku baru mengetahuinya beberapa bulan yang lalu. Sejujurnya, aku tipe orang yang cenderung cuek terhadap lingkungan sekitar. Kedua orang tuaku mendidikku untuk tidak mudah terpengaruh oleh apa yang terjadi di sekelilingku. Namun, ada satu momen yang membuat segalanya berubah. Saat itu, aku terjebak dalam hujan deras. Kekhawatiran menyelimuti pikiranku—takut tubuhku jatuh sakit akibat cuaca yang tidak menentu. Di tengah rasa cemas itu, tiba-tiba seorang anak perempuan muncul di hadapanku.

"Ini Arman yang sekelas denganku, kan?" tanyanya dengan nada riang. Tubuhnya basah kuyup diguyur air hujan, namun raut wajahnya sepenuhnya bertolak belakang denganku. Saat hujan deras seperti ini, aku hanya bisa diam kesal, memilih tidak bereaksi daripada memperkeruh suasana. Tetapi, gadis itu justru terlihat menikmati setiap tetes yang jatuh. Tawanya pecah, penuh keceriaan, seolah hujan adalah permainan yang paling menyenangkan baginya.

"Iya, aku Arman dari kelasmu. Kamu sendiri sedang apa di sini?" tanyaku.  

"Aku sama sepertimu, ingin pulang," jawabnya sambil tersenyum. "Aku sering melihatmu dijemput sopir. Pasti sekarang kamu sedang menunggu jemputanmu datang, kan?"

"Iya. Kamu kenapa tidak ikut ke sini?" tanyaku, melihat gadis itu masih asyik bermain hujan.

"Aku sangat menyukai hujan. Air ini datang langsung dari Tuhan, dibagikan secara cuma-cuma. Di rumah, aku tidak punya air bersih; aku hanya bisa membeli air dari tetangga yang punya sumur."

Awalnya, aku tidak benar-benar mengerti dengan istilah "beli air." Sebagai gambaran, di rumahku, aku tidak pernah tahu dari mana sumber air dan listrik berasal. Yang aku tahu, ayah memiliki seseorang yang mengurus segala hal terkait itu.

Setelah gadis itu menjelaskan, akhirnya aku paham bahwa maksud dari "beli air" adalah menggunakan air yang berasal dari sumur milik orang lain, yang disebutnya sebagai air tanah. Katanya, kadang-kadang air itu memiliki bau tidak sedap, mungkin karena penyaringannya yang sering bermasalah dan sudah bertahun-tahun tidak diganti.

“Baiklah, aku lanjut pulang dulu ya. Sudah sore, aku khawatir kalau pulang terlalu larut karena harus berjalan kaki.”

Aku hanya mengangguk saat gadis itu pulang. Keesokan harinya, di kelas, aku mengamatinya dengan lebih cermat. Ternyata, dia selama ini hanya duduk diam. Tidak ada yang dia lakukan selain mendengarkan penjelasan guru. Setelah itu, aku mulai penasaran dan bertanya kepada teman-teman dekatnya untuk mencari tahu lebih banyak.

“Namanya Maharani. Memang dia jarang berinteraksi. Aktivitasnya hanya diam saja. Buktinya, kamu bahkan tidak mengenalnya. Lagipula, dia juga siswi baru, baru dua bulan lalu masuk sekolah. Karena usianya yang lebih tua, dia langsung dinaikkan ke kelas enam. Wajar jika kamu tidak tahu, waktu itu kamu juga tidak hadir di kelas.”

Aku baru sadar bahwa ternyata dia adalah gadis yang sering dibicarakan orang. Katanya, dia tidak bisa membaca dengan baik dan pendidikannya tertinggal. Namun, karena usianya, dia dipaksa untuk berada di kelas enam, karena jika tidak, dia akan kesulitan melanjutkan ke jenjang sekolah menengah.

Saat itu, sepertinya aku sedang sibuk dengan Pekan Olahraga Provinsi. Aku mewakili sekolah di cabang sepak bola untuk kelompok usia dua belas tahun. Jadi, bisa dibilang aku baru beberapa minggu di sini. Wajar jika aku tidak mengetahui ada siswi bernama Maharani.

Itulah kisah pertama kali aku mengenalnya. Hari-hari berikutnya, kami tidak saling berkomunikasi. Hingga suatu ketika, saat aku sedang berjalan di kantin, aku melihatnya dimarahi karena tidak membawa uang. Alasannya, dia lupa, namun berjanji akan membayarnya besok.

Aku mendekati ibu kantin yang sedang marah karena anak berusia dua belas tahun itu tidak bisa membayar makanannya.  

“Sebelumnya, saya minta maaf. Kalau boleh tahu, berapa harga makanannya?”  

“Seribu rupiah. Dia tidak bisa membayarnya. Kalau mau makan enak, ya, minimal harus punya uang dulu.”

Aku mengeluarkan uang dari saku dan memberikannya kepada ibu kantin. Dia menerima uang itu dan segera pergi, sementara aku baru sadar bahwa kantin sudah dipenuhi pandangan orang-orang yang memperhatikan kami. Dengan cepat, aku mengajak Maharani untuk menepi.

Kami tiba di sebuah meja kosong, hanya berdua, aku dan dia. Tak ada yang kuperbuat selain duduk diam. Maharani masih menunduk, tak kunjung menyentuh makanannya.

“Sampai kapan kamu akan membiarkan makanan ini begitu saja?”  

“Aku merasa tidak enak karena kamu yang harus membayarnya. Biasanya ibuku yang memberiku makan, tapi sekarang dia sedang sakit. Aku tidak bisa membeli makanan, jadi aku berjanji akan membayarnya besok. Tapi ibu itu malah marah-marah setelah batagornya sudah disiapkan.”

“Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Aku yang akan membayarnya untukmu. Lain kali, katakan saja kalau kamu lupa membawa uang.”  

Aku melihat Maharani tersenyum malu mendengar itu.  

“Sepertinya kamu belum tahu kalau aku memang tidak pernah membawa uang ke sekolah. Apa kamu tidak mendengar gosip tentang keburukanku?”

“Sejujurnya, aku tidak terlalu peduli dengan apa yang dipikirkan orang. Buktinya, sekarang aku duduk di depanmu dan memberimu makanan. Itu artinya, kamu baik dan pantas mendapatkan perlakuan baik.”  

Maharani menunduk sejenak. “Baiklah, untuk kali ini aku akan memakannya untukmu,” ujarnya dengan suara malu.

Dia menyantap makanannya dengan lahap. Dalam hati, aku merasa iba karena dari caranya makan, tampaknya dia tidak terbiasa menggunakan alat makan dengan baik. Namun, aku tidak mencemoohnya. Justru, aku merasa kasihan padanya. Aku tak pernah membayangkan bahwa suatu hari nanti aku akan mengalami hidup seperti itu.

Itulah pertemuan yang benar-benar membuat kita semakin dekat. Banyak hari-hari yang kita lewati bersama. Tak jarang, kecemburuan pun muncul dari orang-orang di sekitar kita. Salah satunya terjadi ketika aku bertengkar dengan seorang anak pejabat negeri ini. Dia mengancam akan membawa ayahnya untuk menuntutku, padahal dia lupa bahwa aku justru bisa membalikkan tuduhan itu. Aku bisa melaporkannya dengan dugaan pencemaran nama baik.

Benar bahwa aku yang menolongnya saat dia dibuli karena membawa makanan basi. Setelah itu, aku membelikannya makanan, dan kembali ke kelas hanya untuk mendapati dia tidak ada di tempatnya. Sejujurnya, aku sangat khawatir karena aku merasa dia sudah sangat frustrasi. Untungnya, aku akhirnya mengetahui bahwa dia pergi karena mengalami keluhan perut yang luar biasa.

Pulangnya, aku mengajaknya berjalan-jalan ke taman, tempat yang katanya sangat diinginkannya. Namun, dia merasa malu karena berpikir tidak ada yang akan menyukainya di sana. Rasa malunya muncul dari pengalaman buruknya yang selalu dicemooh di sekolah. Namun, aku tetap membawanya dan membuktikan bahwa tidak ada yang peduli padanya. Artinya, tidak ada yang akan mengusir atau marah-marah tanpa alasan.

Lihat selengkapnya