Basuki mengajar di sekolah tempat ayahnya dulu pernah mengabdikan diri. Kini, ia menjadi guru termuda di sana, meski kemampuan yang dimilikinya terbilang biasa saja. Tak jarang ia mendengar cibiran dari beberapa rekan sejawat. Namun, saat menyangkut posisi dan penghasilan, semua gosip itu tak berpengaruh—gajinya sebagai seorang guru tetap terjamin.
Saat Basuki sedang mengajar, murid yang dinantikannya tiba. Anak itu baru saja dipindahkan dari kelas satu langsung ke kelas enam. Dengan langkah ragu dan wajah yang tersipu, ia memasuki ruangan. Ketukan di pintu depan menginterupsi penjelasan Basuki, diiringi kemunculan seorang guru yang mengantarkan sang murid.
"Ayo, masuklah. Tak perlu malu-malu. Perkenalkan dirimu di depan teman-teman."
Dengan wajah tertunduk, ia melangkah masuk. "Nama saya Maharani Prahesti," ucapnya pelan. "Kalian bisa memanggil saya Maharani."
Ruangan seketika sunyi, tak satu pun suara terdengar.
"Ayo, sambut teman baru kalian," ujar Basuki, memecah keheningan.
"Hai, Maharani," seru mereka serempak, hampir bersamaan.
Maharani melangkah menuju kursi yang terletak di sudut ruangan—satu-satunya yang masih kosong. Di sana, ia berkenalan dengan teman sebelah mejanya, yang sayangnya tampak kurang ramah. Perkenalan mereka terbatas pada jabat tangan singkat, tanpa percakapan lebih lanjut. Bagi seorang murid baru, situasi ini menjadi tantangan besar untuk memulai langkah bersosialisasi.
Beberapa hari berlalu, dan Basuki mulai menyadari bahwa Maharani tampak kesulitan bersosialisasi. Suatu sore sepulang sekolah, ia melihat Maharani duduk sendirian di bangku, tanpa tanda-tanda ada yang menjemputnya. Pemandangan itu membuat Basuki tergerak, muncul keinginan dalam benaknya untuk mendekati dan mengajaknya berbincang.
Basuki mendekati Maharani. "Belum dijemput, ya?" tanyanya lembut.
Maharani yang semula duduk terdiam, segera menyadari kehadiran wali kelasnya. Dengan sigap, ia berdiri dan menyambut Basuki dengan salam, menghormatinya dengan mencium tangannya.
Basuki terkejut. Baru kali ini ada murid yang menghormatinya dengan mengecup tangan. Biasanya, anak-anak hanya menyentuhkannya ke kening.
"Aku sedang menunggu sampai sekolah sepi. Rasanya malas pulang ke rumah, ingin menikmati udara segar di sini lebih lama. Jadi, aku memilih untuk pulang nanti saja."
"Kenapa harus menunggu sampai sekolah sepi?" tanya Basuki, penasaran.
"Aku kurang suka keramaian. Rasanya lebih tenang kalau hanya ada sedikit orang," jawab Maharani dengan jujur.
"Bagaimana kalau saya antar pulang?" tawar Basuki dengan nada ramah.
"Tak perlu repot, Pak. Rumahku tidak terlalu jauh. Aku bisa mencapainya dengan mudah, cukup berjalan kaki," sahut Maharani, menolak dengan sopan.
"Baiklah, kalau begitu saya masuk lagi. Jangan terlalu lama di sini, bisa berbahaya untukmu."
Basuki meninggalkan Maharani dan kembali memasuki sekolah. Untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang membuat hatinya terasa berbeda. Perasaan yang sulit dikendalikan, yang biasanya dapat dia jaga. Dia mulai menyadari ada yang aneh saat berada di dekat Maharani. Perasaan yang tak mampu dia jelaskan, namun begitu asing dan baru. Sepanjang hidupnya, Basuki belum pernah merasakan jatuh cinta, tetapi kini, untuk pertama kalinya, dia merasakannya—jatuh cinta pada Maharani.
Tampilan Maharani benar-benar memikat Basuki. Ada perasaan yang tak bisa dia bendung, sebuah hasrat yang mulai muncul tanpa dia sadari. Maharani begitu polos, hampir tanpa topeng. Menurut cerita orang-orang di sekitar, ia tumbuh di lingkungan yang kurang layak. Orang tuanya tak mampu menyekolahkannya, baru bisa melakukannya ketika Maharani berusia dua belas tahun. Itulah sebabnya dia akhirnya dipindahkan ke kelas enam SD.
Beberapa kali, saat menjelaskan pelajaran, pandangan Basuki bertemu dengan mata Maharani. Itu membuatnya semakin jatuh cinta. Namun, kadang cinta memang membutakan segalanya, termasuk hasrat yang selama ini terpendam begitu lama.
Hujan turun dengan derasnya, disertai angin yang cukup kuat hingga menumbangkan pohon-pohon. Basuki berniat pulang, namun matanya tertuju pada Maharani yang menggigil kedinginan di tepi jalan. Rasa iba yang mendalam mendorongnya untuk membawa gadis itu ke rumahnya. Maharani, yang sudah hampir tak mampu menahan dingin, hanya menurut saat Basuki memintanya untuk naik ke motornya. Tanpa ragu, mereka menembus hujan deras yang mengguyur.
Basuki tak pernah mempersiapkan diri untuk kedatangan seorang gadis berusia dua belas tahun. Di rumahnya, saat Maharani mengganti pakaian, kejadian yang tak terduga itu benar-benar terjadi. Cinta yang datang begitu mendalam, membutakan segalanya. Begitu cepat, hingga keduanya yang awalnya asing, tiba-tiba jatuh cinta dalam semalam. Maharani, yang semula takut akan permainan yang ditawarkan Basuki, kini terbuai oleh perasaan yang menggebu. Setelah hujan reda, Basuki mengantarnya pulang, hanya sampai di depan pemukiman. Di sana, Maharani mencium tangan Basuki, seperti seorang murid kepada gurunya. Namun, ada perbedaan besar—mereka berdua sama-sama jatuh cinta.
Hari-hari berikutnya, kecanggungan mulai terasa setiap kali mereka bertemu. Khawatir jika hal itu diketahui orang lain, Basuki memutuskan untuk berbicara empat mata dengan Maharani di tepi sebuah danau.
"Kamu sebenarnya menyukaiku atau tidak?" tanya Basuki, menatap perempuan di sampingnya.
"Iya," jawab Maharani, "Sejak hari itu, aku benar-benar menyukaimu."