Kami sama-sama menagih janji satpam untuk bercerita. Akhirnya, dia menceritakan semuanya dengan rinci. Menurutnya, gadis bernama Maharani itu diculik oleh orang yang tak bertanggung jawab. Namun, tak sedikit pula yang meyakini bahwa dia menjadi tumbal untuk proyek pembangunan. Dulu, katanya, gedung yang kini menjadi ruang guru tak kunjung selesai pembangunannya. Memang benar, seingatku, gedung ini belum rampung saat pertama kali aku masuk. Namun kini, sudah digunakan untuk aktivitas sehari-hari.
Beberapa oknum juga mencurigai bahwa kenaikan jabatan Pak Bas terkait dengan kasus tersebut. Dugaan kuat mereka mengarah pada kepala sekolah, dengan kemungkinan Pak Bas menjadi satu-satunya saksi. Agar mulutnya tetap terkunci rapat, kepala sekolah menaikkan jabatan Pak Bas, demi saling menguntungkan. Sebenarnya, alasan ini cukup masuk akal, mengingat kelicikan yang tampak jelas di sekolah ini. Padahal, menurut beberapa orang, Pak Bas bukanlah sosok yang sangat rajin mengajar; bahkan, ada yang mengatakan dia bisa masuk ke sekolah ini berkat pengaruh orang tuanya.
Sebenarnya, aku masih belum begitu mengenal Pak Bas dengan baik. Namun, tawarannya yang berulang kali justru membuatku berpikir bahwa dia mungkin menyukaiku. Bisa saja, Pak Bas dan kepala sekolah bersekongkol untuk menjebak murid-muridnya. Pikiran-pikiran liar itu mulai muncul di benakku setelah mendengar cerita dari satpam tersebut.
Mereka semua mendengarkan dengan seksama. Namun, hanya aku dan Seno yang memiliki hubungan cukup dekat dengan Pak Bas. Bahkan, beberapa kali Pak Bas mengajakku pulang bersama. Dia selalu menawarkan untuk mengantarku ke rumah, dengan alasan bahwa sayang sekali jika aku harus berjalan kaki sendirian. Padahal, aku sendiri tidak pernah merasa keberatan dengan kenyataan itu.
Setelah selesai bercerita, kami semua pulang. Hanya aku dan Seno yang masih tersisa di sana. Dia menawarkan untuk pulang bersama, dan aku pun menyetujuinya dengan senang hati. Namun, aku segera menyadari bahwa dari kejauhan, Pak Bas mengamati kami. Aku cepat berpaling dan meminta Seno untuk segera mengayuh sepedanya, tapi Seno tampak ragu dan masih terdiam.
“Kenapa kamu malah diam saja?” tanyaku dengan cemas.
“Aku tidak bisa menemukan sepedaku. Sepertinya ada yang mencurinya. Tidak ada di sekitar sini.”
“Bagaimana bisa hilang?” tanyaku, meski rasa khawatirku lebih tertuju pada Pak Bas yang masih berdiri mengamati.
“Sepertinya memang ada yang mencurinya,” jawabnya dengan ragu.