Kupikir, tak ada luka yang lebih perih daripada hari ketika ayah pergi. Saat itu, segalanya runtuh seketika. Namun, dunia ternyata memiliki caranya sendiri untuk menundukkan seseorang yang sudah bersusah payah bangkit. Hari ini, aku kembali dipaksa menatap kenyataan yang tak pernah kupilih—kenyataan bahwa hidupku hanyalah serpihan reruntuhan yang tersisa.
Rasa kosong ini lebih dari sekadar lubang di dada; ia seperti pusaran yang perlahan menelan setiap denyut keberadaanku. Aku tahu, yang bertanggung jawab atas semua ini kini melangkah bebas—dengan kepala tegak, seolah tak ada noda yang membekas di tangannya. Tak ada getar di wajahnya, tak ada bayang-bayang di matanya. Hanya punggungnya yang menjauh, langkahnya terdengar ringan, hampir mengejek. Namun di kepalaku, langkah itu berat, menggema, mengaduk kebencian yang semakin hari semakin tak tertahankan.
Aku hanya bisa menatap serpihan hidupku yang berserakan—seperti pecahan kaca di lantai dingin, masing-masing memantulkan bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Pecahan itu tajam, dingin, dan menyakitkan saat menyentuh, tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa dia, yang seharusnya berdiri di sini untuk turut memikul semua ini, memilih pergi tanpa meninggalkan sedikit pun rasa bersalah.
Aku tahu, tak ada lagi yang tersisa untukku. Masa depan itu telah lama direnggut, dihancurkan dalam satu malam gelap oleh seorang laki-laki yang tak tahu diri. Malam itu seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir—langit hitam pekat menekan dadaku, sementara udara malam yang dingin perlahan berubah menjadi pengap.
Saat semuanya terjadi, tubuhku gemetar hebat, setiap inci kulitku seperti menyerap ketakutan dan sakit yang tak bisa kusebutkan. Pikiranku terus berputar, melompat dari satu bayangan ke bayangan lain, membentur kenyataan yang mustahil kuterima. Trauma itu kini hidup di sudut-sudut diriku, bersembunyi di tempat-tempat yang tak bisa kusentuh.
Sekarang, meskipun bertahun-tahun telah berlalu, tak ada seorang pun yang tahu. Tak ada yang bisa membaca kekosongan di mataku setiap kali ingatan itu datang tanpa permisi, atau merasakan dinginnya keringat yang tiba-tiba merayap di punggungku saat bayangan malam itu melintas. Aku menyimpannya rapat-rapat, terkunci dalam pikiranku seperti barang cacat yang kupaksa lupakan—meskipun tahu aku tak akan pernah benar-benar bisa.