“Hey! Ma … ma … masih nunggu bis?!”
Tak kuduga, sapaanku yang datang secara tiba-tiba dengan nada tinggi, gagap dan tak beraturan–kurasakan lebih menyerupai teriakan–ternyata membuat Kinan terkejut dan tertegun sejenak. Sedetik kemudian, dengan gerakan refleks, cewek berambut sepunggung itu menoleh dan mengamatiku beberapa detik dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Arga?!” sahut Kinan, setengah berteriak.
Beberapa saat kemudian aku menangkap wajah cewek berlesung pipit itu memerah dadu. Sepertinya dia grogi. Ya, aku yakin dia grogi–tak kupungkiri aku pun demikian, bahkan lebih dari sekedar grogi. Matanya membulat dalam sekejap. Lantas, segaris senyum ala kadar terlukis di bibirnya yang segar. Namun, satu dua detik kemudian dia kembali ke posisi semula, lekat dengan buku bacaan di pangkuannya. Aku berharap, Kinan tidak sedang berusaha menghindariku.
Diam-diam aku bersyukur Kinan tak menatapku terlalu lama. Dapat kupastikan, aku tak akan sanggup jika harus melakukan kontak mata langsung dengan cewek berkulit hitam manis itu. Aku sadar, saat ini aku tak memakai kaca mata hitamku. Benda kecil kesayangan yang sangat berarti dalam hidupku itu, biasanya membantu menyembunyikan wajahku dari tatapan orang. Meskipun aku terlalu takut dan tidak nyaman jika diperhatikan, namun beberapa bulan terakhir ini aku sengaja sering tak memakai kaca mata itu. Ini sesuai dengan anjuran Papa dan dokter.
Saat-saat genting seperti ini, beruntung nasehat Papa dan dokter selalu muncul di benak, mengingatkanku untuk selalu berusaha mencoba melakukan kontak mata dengan orang-orang yang baru aku kenal. Dan jika mampu, mencoba berkomunikasi dan berlatih berbicara dengan baik dan benar. Mereka bilang, ini sangat bagus efeknya.
Melihat Kinan menyembunyikan wajah, ada rasa bersalah yang muncul secara tiba-tiba. Menyesak dan berpilin di dada. Apa lagi ketika kurasakan sambutan Kinan yang biasa-biasa saja. Sepertinya aku sudah membunyarkan konsentrasi dan keasyikan ia membaca. Ah, sepertinya kehadiranku memang tak pernah diinginkan oleh cewek bermata jernih itu. Tidak oleh siapa pun, aku rasa. Mungkin Kinan tak ada bedanya dengan teman-teman lain di sekolah dan semua orang yang tak pernah mau peduli keberadaanku. Tuhan, sampai kapan harus seperti ini?
Atau … apakah ini memang salahku, melakukan hal tolol pada cewek yang belum seberapa aku kenal?
Seharusnya aku bisa menggunakan cara yang lebih baik dan halus untuk menyapanya. Jujur, bukan karena sama sekali aku tak ingin mencobanya. Tetapi entahlah, setiap kali aku berada di dekat Kinan lidahku mendadak semakin kelu dari biasanya. Aku bahkan merasa sulit hanya untuk mengatur kata-kata–terlebih napas ku sendiri. Tak heran jika kemudian aku lebih sering menjadi manusia paling dungu yang hanya bisa tergagap di hadapannya.
Aku memang memiliki banyak kelemahan. Selain sering merasa minder yang berlebihan–apa lagi harus berhadapan dengan cewek secantik Kinan–aku juga kurang pintar mengungkapkan perasaan secara verbal dan sulit mengontrol emosi yang terkadang meluap-luap. Parahnya lagi, aku sering takut keberadaanku ditolak oleh semua orang. Aku phobia dengan sebuah penolakan.
Menyadari semua ini, acap kali membuatku sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan orang-orang yang baru aku kenal. Aku lebih nyaman menghabiskan waktu menyendiri untuk membaca, menulis atau asyik mengedit foto-foto hasil jepretanku menggunakan software terbaru yang aku kuasai.
Walau keinginan untuk bersosialisasi sangat besar, tetapi kelemahanku tak jarang lebih kuat pengaruhnya masuk ke dalam diriku. Sehingga, terkadang menutupi kelebihan yang kumiliki, mengalahkan potensi diri, mengabaikan akal sehat dan mematahkan segala keinginan. Kelemahan ini sangat mengusikku, membuat aku labil, frustrasi dan terkadang membenci akan diriku sendiri. Keinginan dari lubuk hati yang paling dalam adalah; aku tidak ingin seperti ini. Aku ingin seperti cowok normal pada umumnya. Aku ingin seperti teman-teman sebayaku!
Kuparkirkan ninja 250-ku sejajar trotoar, tak jauh dari bangku kayu tua yang diduduki Kinan. Dahulu, tempat ini adalah sebuah halte bis kota. Tetapi sejak Pemkot membuka trayek baru TransJogja dan membangun halte di sebelah Timur gedung Telkom, sejak itu nyaris tak berfungsi lagi. Banyak penumpang lebih memilih armada baru TransJogja yang nyaman.
Dengan keberanian yang terbilang hebat–dan tak dari mana datangnya–perlahan aku duduk di samping Kinan tanpa sempat bertanya terlebih dahulu apakah aku boleh duduk di sana atau tidak. Bodoh! Bukankah seharusnya aku meminta persetujuan dan izin dari dia terlebih dahulu? Aku ingin melakukannya. Namun, entah mengapa urung aku utarakan.
“Sudah hampir sore,” ujarku perlahan dan hati-hati, tak ingin kembali membuyarkan konsentrasinya. Bicara perlahan, kata Papa dan dokterku sangat membantu untuk bicara lebih teratur dan mengurangi rasa gugup yang berlebih.
“Iya, sudah hampir jam lima. Bentar lagi bisnya pasti datang,” ujarnya seperti tengah menyemangati diri sendiri. Dia memandangku sekilas. “Nggak nganter?”
“Barusan aku dari Gramedia. Hmm….” Aku harus menghentikan ucapanku ketika derum suara motor melintas di tempat itu dan memecah suasana. Polusi suara tingkat tinggi itu mendadak membuat gendang telinga terasa mau pecah. Kulihat Kinan melakukan hal yang sama. Ia menutupi kedua lubang telinga dengan jari telunjuknya dan membukanya ketika suara knalpot itu benar-benar lenyap.
“Aku … aku nggak se … seng … sengaja lihat kamu di sini.”
“Terus?”
“Aku sengaja ke sini.”
Kembali dia menatapku. “Loh, katanya nggak sengaja?” tanyanya penuh selidik. Ada senyum sedikit jenaka di bibirnya yang indah.
Astaga! Kenapa Kinan terus mendesakku dengan pertanyaan itu?
“Mak … maksudku. Hmm, maksudku … waktu aku lewat di sini, nggak se … sengaja lihat kamu. Terus, aku … terus aku, sengaja mampir,” jawabku gagap. Aku masih terus mencoba menata nada suara dan napas yang berpacu dengan degup jantung tak beraturan. Dag dig dug, persis suara bedug yang bertalu tanpa keserasian nada. Aku ingin menyudahi ini semua. Aku … aku ingin segera berlalu dari hadapan Kinan.
Namun kulihat Kinan kembali tersenyum.
Aku mengendikkan bahu, lalu menyandarkan punggung pada sandaran bangku kayu yang kami duduki. Ada sesuatu yang merambati palung hati ketika menyaksikan senyum ramah Kinan. Sesuatu yang membuat nyaman dan menenangkan.
“Kamu ngerti maksudku?”
“Tentu. Aku paham kok,” ujarnya pelan.
Lantas kembali ia akrab dengan buku bacaannya. “Aku sambil baca, ya. Nggak papa, kan?” suaranya seperti permohonan, seolah sengaja berusaha ingin membantu meredakan gemuruh di dadaku.
Aku menyilakan ia melakukan hobinya.
Kemudian diam. Tiba-tiba senyap menyergap. Kesempatan ini kugunakan untuk terus mencoba menata debaran jantungku. Kali ini kuberanikan diri menatap wajahnya lebih dalam. Sungguh, sulit luar biasa.
“Kenapa bisnya be… belum datang juga?” tanyaku, sekedar ingin mendobrak kekakuan. Matahari semakin menyondong ke arah barat.
“Nggak tahu nih. Kamu pulang duluan aja, Ga.”
“A… aku, mau di sini sam… sampai kamu pulang.”
Perlahan bibir Kinan kembali mengembang. Segaris senyum kembali terlukis walau tidak begitu kentara, sepertinya dia sengaja tak ingin menunjukannya padaku. Namun aku terlanjur menangkap senyum itu, membuatku kesulitan mengalihkan pandangan ke arah lain. Sesaat aku kembali bergetar. Degup jantungku yang sejak tadi belum juga mereda, semakin memburu dengan ritme yang tak beraturan. Sungguh, senyum di bibir mungil itu terlalu indah untuk dilewatkan.
Tapi…, kenapa Kinan hanya diam? Mungkin benar, dia tidak suka aku berada di sini. Terganggu … atau? Ah, Kinan, bicaralah.
“Aku nggak meng … mengganggu kan?”