Kinan adalah makhluk manis yang teramat istimewa. Belum genap tiga bulan menjadi murid baru di kelas kami, dia sudah menjadi pusat perhatian. Meskipun penampilannya cukup sederhana, namun wajahnya memancarkan pesona dan kelembutan . Itu kesan pertama yang aku tangkap sejak pertama kali dia masuk di kelas kami.
Kinan yang terlambat datang di hari pertamanya, ketika itu terlihat begitu luar biasa. Wajahnya cantik alami tanpa make up atau riasan. Seperti magnet, ada daya pikat yang sangat kuat di sana. Matanya berbinar, memancarkan keteduhan dan kesederhanaan. Rambutnya hitam tergerai indah melewati bahu, tertata rapi dengan bandana kecil berwarna biru senada dengan tas yang dibawanya. Bibirnya ranum, menyunggingkan seulas senyum yang hangat dan bersahabat.
Lama dia berdiri di sana, di depan kelas. Dengan wajah lugu menatap wajah-wajah asing teman sekelas yang belum dikenalnya. Pipinya yang halus agak bersemu merah. Matanya perlahan menyapu ke seluruh ruangan kelas. Mencari bangku kosong yang bisa ditempatinya.
Tatapannya berhenti di bangku paling depan di sudut kanan. Di sana, di sebelah kanan Roby, sang ketua kelas masih ada bangku kosong. Roby sempat tersenyum, memberikan tanda bahwa dia mempersilakan cewek itu duduk di sana. Senyum penuh kelicikan tentu saja. Senyum nakal yang sering dia gunakan sebagai senjata untuk menjerat cewek-cewek di sekolah ini. Entah berapa banyak yang sudah jatuh menjadi korbannya.
Diam-diam aku berdoa, jangan sampai anak baru itu tergoda untuk duduk dengan Roby. Aku tak ingin dia menjadi korban kegombalan Roby untuk yang kesekian kalinya. Aku juga tak mau dia menjadi sasaran empuk kemarahan Nana, pacar Roby yang terkenal garang.
Gusti, Aku tak akan rela.
Entah apa yang ada di kepala Roby. Bagaimana jika Kinan benar-benar menerima tawarannya, apa yang akan dia katakan pada Nana? Memintanya untuk mencari tempat duduk yang baru, itu ide paling gila aku rasa. Hanya satu hari saja Nana absen di kelas, Roby seolah sudah kehilangan akal sehatnya.
Cewek itu tampak ragu dan mengurungkan niatnya menuju ke bangku Roby. Aku bernapas lega. Dia terlepas dari pengaruh play boy itu. Kembali matanya mengitari ruangan, dan mata itu–mata indah itu–berhenti beberapa saat ketika menangkap mataku tengah memperhatikannya.
Dia tertegun, memerhatikan wajahku beberapa detik. Mendadak rasa panas menjalari wajahku. Keringat dingin menetes satu-satu di kening dan ujang-ujung rambut. Telapak tanganku ikut-ikutan dingin, seolah membeku secara tiba-tiba. Aku salah tingkah. Dadaku berdegup hebat.
Aku tak suka cara dia memandangku. Aku tak suka diperhatikan. Aku mencoba mengalihkan perhatian, membuang pandangan. Namun tetap saja tak bisa. Leherku mendadak kaku dan tak mampu untuk sekedar memalingkan wajah ke arah lain.
“Hayo ketahuan!!” Tiba-tiba ada tepukan keras di bahuku.
Tanpa kusadari, Rido, teman dudukku sudah berada di sampingku. Entah sejak kapan dia duduk manis di kursinya. Entah sudah berapa lama dia menatapku dengan senyum lucu yang menggoda, senyum jahil yang khas dan terkenal itu. Yakin, dia menangkap keanehan yang sedang terjadi padaku. “Ayo kejar, biar nggak jadi jomblo sejati,” bisiknya di telingaku.
Aku tergagap beberapa saat. “Ahh dasar! Ke… kenapa nggak kamu aja?”
“Sayangnya aku nggak jomblo…”
“Haha. Bu… buktikan bualanmu yang nggak ber… berharga itu.”
“Masa sih cowok secakep Rido nggak laku, Ga?” Hasrat menggombalnya mulai muncul. “Suatu hari aku akan tunjukan, siapa temanmu ini. Nah, sekarang biarkan sahabatmu yang ganteng ini membantu, oke?”
“Lha, aku lagi?”
“Ah, sudahlah. Si Vera-mu itu sudah tak layak diperhitungkan.”
“Kayak udah ya… yakin aja kalau anak baru itu masih sen… sendiri,” protesku terpatah-patah. “Be… belum. Belum ada lima menit dia hadir. Kasih kesempatan dia duduk, itu lebih bi… bijaksana.”
“Justeru itu, Ga. Ini kan kesempatan yang bagus untuk memulai. Dia anak baru, kita yang musti berusaha mengenal dia lebih jauh, bukan sebaliknya,” bisikannya berapi-api memberondong telingaku bertubi-tubi. “Kalau aku jadi kamu, nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Ayok, tunjukan di mana kursi kosong itu, lalu….” Rido membiarkan kalimatnya menggantung begitu saja.
“Lalu apa, Ndut?”
“Swear, aku dukung kamu seribu persen kalau buat cewek yang satu ini. Keburu disamber orang. Kudu buruan, Ga!”
“Ndut, kamu tahu kan, aku nggak jomblo?!”
“Bukannya hubungan kalian udah nggak jelas sejak lama?” Rido mengedipkan matanya dengan jenaka. Cowok bertubuh tinggi besar yang sering dipanggil ‘ndut’ itu menatap Kinanthi dan aku bergantian.
“Nggak usah ga… ganjen gitu, deh!” aku menarik telinga Rido pelan.
“Jangan sia-siakan dia,” kali ini dia memasang wajah serius. “Ingat baik-baik ucapanku. Saat Vera-mu itu mau diajak jalan sama cowok lain dan jarang nempatin janji, itu artinya, kamu harus bersiap-siap untuk membuka lembaran baru bersama cewek lain. Karena saat itulah, kamu sudah resmi jadi jomblo!”
“Itu teori gi… gila dari mana lagi, Ndut?” Aku meninju pundak Rido pelan. “Su… sudah, bukan saatnya ngomongin masalah ini sekarang.”
“Oke, kita ngomongin anak baru itu aja ya? Lebih asyik, kan?”
Kutinju bahunya sekali lagi, menyuruhnya diam. “Urusin tuh tugasmu!”
Rido terkekeh, merasa menang. Lalu pergi begitu saja dari hadapanku.
Anak baru itu masih berdiri di sana. Matanya masih mencari-cari. Beberapa saat kemudian, kakinya segera melangkah ketika dilihatnya sebuah bangku kosong persis di depan meja guru, di barisan pojok sebelah kiri. Dia akan duduk sebangku dengan Ajeng, di depan tempat duduk Vera dan Lina. Bukan tempat yang bisa dibilang strategis sebenarnya.
Duduk di depan meja guru, di manapun itu, sama sekali bukan ide yang bagus. Aku pernah tahu bagaimana rasanya. Ya, sudahlah, memang hanya bangku itulah yang ada. Tetapi ada sisi poritifnya juga dia duduk di sana. Posisi dia akan selalu menjadi posisi strategis dari tempat dudukku.
Tempat dudukku ada di baris kedua, kursi ke tiga dari depan. Ketika aku memperhatikan guru yang sedang menerangkan pelajaran di posisinya, tentu begitu leluasa dan memiliki akses yang luas ke barisan bangku pertama itu.
Saat itu pikiranku begitu berangan-angan jauh. Aku seolah mendapatkan kegirangan baru, bisa menatap punggung anak baru itu dari posisiku. Meski aku sadar sepenuhnya, Vera yang berada di belakangnya persis, akan selalu mengawasiku. Dan bisa saja menjadi penghalang yang berat di kemudian hari.
“Boleh duduk di sini?” tanyanya polos.
“Boleh. Kosong ko,” Ajeng tersenyum ramah mempersilahkan.
“Makasih. Aku Kinanthi…”