Bila

Safira Wardoyo
Chapter #3

Aku Berbeda

Malam Minggu ini aku tidak ada rencana untuk ke luar. Tawaran nonton di XXI dari Rido, aku tolak mentah-mentah. Ajakan nonton konser panggung terbuka dari teman-teman terpaksa aku abaikan. Konser yang diadakan oleh salah satu TV Nasional dan disponsori oleh perusahaan jamu terkenal itu akan berlangsung dua hari bertutut-turut, berlokasi di alun-alun utara Keraton Yogyakarta. Berbagai acara pendukung juga akan digelar. Banyak artis ibu kota yang hadir meramaikan acara musik ini.

 Tetapi rasanya tak ada mood untuk keluar bersama siapapun. Malam ini aku hanya ingin sendiri saja. Meski tak tahu arah yang dituju, aku merasa nyaman duduk di belakang setir hanya ditemani lagu-lagu baru dari album terbaru Marcel.

Bisa jadi, mood-ku tidak akan berantakan seperti ini kalau saja bukan Vera yang merusaknya. Dia sebagai pacar seharusnya menerima ajakanku dan bisa menemaniku di malam yang memang selalu dianggap malam panjang bagi pasangan muda-mudi ini.   

Aku mengajaknya untuk makan malam, berdua saja. Tetapi sungguh di luar dugaan; dia bersedia menemaniku dengan satu syarat Lina, Nana dan Agnes juga harus ikut bersamanya.

What the fuck!

Aku ingin bersama dia, bukan bersama mereka untuk mendengarkan ocehan-ocehan atau gosip yang tak pernah jelas dari mulut usilnya. Aku tak suka berada di tengah mereka. Tak bisakah Vera mengerti aku sekali ini saja?

“Kamu tahu, mereka itu teman-teman terbaik gue, Ga. Kami selalu kompak selama ini,” itu alasan Vera ketika ku telepon tadi sore.

“Sejak kapan kamu bisa menolak ajakanku, Vera?”

“Siapa yang menolak?! Bisa nggak sih kamu sedikit paham apa yang aku inginkan?!” nada suara Vera naik beberapa oktaf. “Aku hanya ingin kamu ngerti aku dan ngerti mereka juga. Kalau kamu sayang sama gue, kamu juga harus bisa menerima mereka dong …”

“Aku sudah cukup baik selama ini, membiarkanmu bergaul sama orang-orang aneh dan nggak jelas itu …”

“Heh! Kamu nggak berhak ngatain teman-temen aku itu orang-orang nggak jelas ya. Stupid banget sih. Mereka itu sahabat aku sejak dulu, orang yang selama ini mengerti aku dan selalu ada di saat aku membutuhkan mereka. Kamu kemana aja selama ini? Kamu egois, tahu nggak sih?!”

“Vera, bisa nggak sih kamu lebih ramah dan manis sama aku?”

“Gimana aku mau bersikap manis kalau kamu aja nggak pernah mau paham apa yang aku mau selama ini. Kamu hanya mementingkan diri kamu sendiri …”

“Ya sudah, Vera. Aku lagi nggak mau berdebat dan lagi malas dengar ocehanmu. Kalau kamu nggak mau makan malam sama aku, fine! Aku nggak akan maksa. Dan mungkin ini yang terakhir kalinya aku mengajakmu …”

“Yang bilang nggak mau siapa?! Jangan memutarbalikan kata gitu, deh!”

“Udah ya, Vera. Aku mau jalan dulu.”

“Aku lagi di Via-Via Café sama Lina dan Alex, kamu nyusul aja ke sini.”

No, thanks. Bye, Vera.

“Arga! Tunggu!”

“Sorry, did you say ‘sama Alex’? Aku pikir kalian sudah nggak ada hubungan lagi?” tiba-tiba dadaku bergolak hebat. Ingin rasanya aku meneriaki Vera di seberang sana. Namun aku sadar, tak ada gunanya lagi menumpahkan kekesalanku. “Aku pikir ini hanya salah paham aku aja? Tapi ternyata dugaanku salah. Ternyata kamu lebih mementingkan keluar bareng cowok lain ketimbang sama aku pacarmu. Dasar lonthe[1], nggak ngerti perasaan orang.” Suaraku terbata-bata menahan emosi yang hampir meruah.

“Apa?! Tega kamu ya ngatain aku kayak gitu.” teriakannya hampir memekakkan telingaku “Arga, please wait. Ini ulang tahun Alex. Aku sama Lina diundang untuk …”

Enjoy your party. Bye.”  

 Jalan Malioboro masih agak padat meski jarum jam sudah lewat dari angka sembilan. Di kedua sisi jalan, lapak-lapak lesehan mulai digelar meski masih dipadati banyak motor yang diparkir, bercampur dengan para penjemput yang nangkring di atas sepeda motornya. Jam sembilan malam, waktunya para pekerja dan karyawan toko untuk pulang.

Sementara ratusan kendaraan–terutama kendaraan roda empat–masih memadati badan jalan, menuju ke arah Selatan. Aku yakin tujuan mereka hanya satu, karnaval musik di alun-alun utara Keraton Yogyakarta.

Aku hanya mengikuti arus kendaraan, masih tak tahu ke mana arah tujuan. Tapi ketika melewati Lesehan Tarang Bulan, tiba-tiba di kepalaku tercetus satu ide dan muncul keinginan lain. Aku harus bertemu Rido saat ini juga. Aku harus bicara dengan dia.

Maka sedetik kemudian;

“Ndut, sorry kalau mengganggu, nih. Kamu di mana?”

“Angin dari mana nih, tiba-tiba nelpon gue?” suara Rido di seberang. Renyah seperti biasanya. “Aku bentar lagi nyampe rumah. Habis itu mau jemput doi, mau malam mingguan. Emang kayak kamu, jomblo! Haha …”

“Aku pengen ketemu ...”

“Bentar …, bentar. Kamu bukan ngajak aku kencan kan, Ga?”

“Dasar wong edan[2]. Ketemu yok, penting nih.”

“Ealah, aku kan udah bilang …”

“Aku ke sana ya, bentar aja kok. Aku bawain mie Aceh, mau ya?”

“Nggak usah pakai nyogok-nyogok segala, he he ...”

“Ndut …”

“Lagian, ke sana ke mana? Emang kamu tahu aku ada di mana?”

“Ya ke rumah kamu, dodol!”

“Ha ha. Serah kamu deh. Tapi ntar jangan ngerasa nggak enak kalau aku tinggal kencan. Ya udah, kamu ke rumah aja, bentar lagi aku pulang kok.”

Lihat selengkapnya