Bilal, Laki-Laki Yang Pernah Membunuh Tuhan

Moh. Sudah
Chapter #1

Padang Ilalang dan Perempuan Berwajah Bening

Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) seluas 219m itu terlihat sejauh mata memandang. Beberapa pesawat ada yang sudah siap take of, sementara yang lain baru saja landing. Akhinya, tepat ketika Matahari mulai memanjat langit, pesawat yang ditunggu siap untuk take of. Bilal, laki-laki yang tidak pernah merasakan naik pesawat, untuk pertama kalinya akan mendapatkan pengalaman bisa melihat keindahan hayati dari langit. Kali ini tujuan perjalanannya berbeda dengan perjalanan yang selama ini ia alami, Singapura dan Malaysia.

Setelah melalui berbagai tahap sleksi; mulai dari tes pengetahuan, kemampuan berbahasa ingris, pengalaman riset ilmiah, dan sumbangsih yang diberikan ke kampus, Bilal dinyatakan lulus untuk menjadi salah satu peserta delegasi dalam acara konferensi internasional selama 1 minggu yang akan dilaksanakan di Malaysia. Ini merupakan hadiah berharga yang diterimanya mengingat lebih dari 50 prestasi yang berhasil dia persembahkan selama kuliah.

Sejak pertama kali dinyatakan lulus lewat jalur UM-PTKIN di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Bilal menjadi mahasiswa yang aktif mengikuti kompetisi. Tidak hanya di ajang tingkat nasional, dia juga berhasil bersaing dan meraih juara di tingkat internasional. Kemampuannya dalam mencari ide membawanya pada keberhasilan untuk menjadi juara dalam setiap ajang kompetisi yang dia ikuti. Puncaknya hari ini, impian yang selama ini selalu dia tulis di dream book untuk bisa keliling dunia satu persatu mulai tercapai. Dan perjalanannya pun dimulai. Menuju Singapura.

Dunia kompetisi sebenarnya bukan hal yang baru baginya. Sejak SMA; di salah satu pesantren besar di Madura, dia sudah aktif mengikuti perlombaan. Benar kata pepatah bahwa balas dendam terbaik adalah menjadi lebih baik. Ketika masih berada di kelas satu SMA, untuk pertama kalinya Bilal menjalin hubungan asmara. Hubungan yang bisa dikatakan paling serius dan paling ia jaga. Sayang, hubungan itu berakhir dengan penghianatan. Perempuan yang begitu ia percaya dengan sepenuh hati, siapa sangka di belakang menjalin hubungan dengan 5 pria sekaligus. Akibatnya, selama 5 bulan Bilal berada dalam keputusasaan. Hanya karena dia berada di Pesantren, akalnya masih bisa berpikir jernih. Kabur dari pesantren menjadi kegiatan rutin, mencari suasana yang dapat menyembuhkan luka hatinya. Sia-sia, dia tidak menemukan penawar luka yang terlapau dalam itu.

Hingga akhirnya, Bilal memutuskan untuk sowan secara pribadi kepada kiyai Arifin_pengasuh di pesantren tempat dia mondok. Saat itulah, air matanya benar-benar deras mengalir. Di hadapan kiyai dia ceritakan semua masalah yang sedang menimpanya. Termasuk yang sering keluar alias kabur dari pesantren. Dia minta maaf dari hati paling dalam. Kiyai Arifin tidak marah sedikitpun. Sebaliknya, beliau justru mengusap lembut punggung Bilal. Nasehat lembut mengalir dari Kiyai Arifin, menembus hati terdalamnya yang gelap, membasahi raganya yang kemarau. Sejak saat itu, dia kemudian benar-benar berubah. Kegiatan pesantren tidak pernah dia tinggalkan, sekolah tidak pernah absen, dan sejak saat itu pula gelar sang juara melekat di benak banyak orang. Berkali-kali menjadi delegasi, sudah tidak terhitung berapa penghargaan yang berhasil dia persembahkan ke pesantren. Sementara perempuan yang telah membuatnya rapuh; entahlah, dia tidak lagi perduli. Meski begitu, dia tak bisa menghapus kenangan bersamanya. Dia tutup hatinya rapat-rapat, bahkan sampai hari ini belum ada yang bisa menggantikan posisi wanita itu di hatinya.

Jam 08:00 wib

Bilal bersama dengan rombongannya sebanyak 15 orang berjalan di Garbarata pesawat. Sesekali matanya melirik pada jendela dengan kaca transparan, dia bisa melihat satu dua pesawat yang baru saja landing. Selain pertama kali naik pesawat dia juga pertama kalinya bisa melihat tubuh pesawat secara langsung. Bilal menghentikan langkah kakinya, mencoba melihat lebih detail seluruh badan pesawat. Ah! Ini mengingatkan pada masa kecilnya yang penuh dengan kenangan pahit, masa kecil yang terlalu sakit untuk dirasakan oleh semua orang, padang ilalang itu seketika memenuhi memori ingatannya.

Sebuah cerita di desa terpencil

Anak kecil laki-laki berumur 4 tahun itu riang bernyanyi di atas pundak ayahnya. Suara cadelnya menghiasi sepanjang perjalanan, menuju padang ilalang milik mereka. Sepetak tanah yang menjadi harta satu-satunya itu harus segera digarap. Rumput ilalang sudah tumbuh lebat dimana-mana.

Balonku ada lima…

Lupa lupa walnanya…

Hijau, kunying, keyabu

Melah, muda, dan bilu…

Laki-laki berumur 30 tahun itu tersenyum melihat anak laki-laki semata wayangnya yang riang bernyanyi. Rasanya baru kemarin dilahirkan, sekarang sudah pintar bernyanyi. Matanya menatap ke atas, melirik anak kecil di pundaknya yang terus larut dalam irama lagu balonku ada lima. Pelan-pelan bibirnya juga ikut bergerak, mengikuti iringan lagu yang dinyanyikan anaknya. Sesekali tangan mereka melambai, seolah bisa menyentuh angin. Jika kebahagiaan tidak bisa dibeli, maka inilah salah satu buktinya; bisa melihat anak tumbuh dengan senyum yang terpancar di bibirnya.

 Setelah sejauh 2 kilo meter berjalan kaki, akhirnya sampai di padang ilalang milik mereka. Sang ayah menurunkan anak kecil yang masih asik bernyanyi dari pundaknya.

Lihat selengkapnya