Bilfagil

Faiz el Faza
Chapter #1

Kartu As Lendi

Hujan deras mengguyur sebuah perumahan semi-cluster. Lampu-lampu penerangan jalan, menyinari kerapatan rintik hujan. Memunculkan gambaran betapa lebatnya intensitas hujan malam ini. Kilatan cahaya petir berpendar sangat cerah dalam beberapa mili-detik. Dalam waktu sesingkat itu, sebuah rumah megah bergaya minimalis dengan nomor A-24 tersinari. Menampilkan corak cat dan gaya arsitektur yang khas.

Setelah cahaya kilat meredup, kelihatan ada dua sumber cahaya di dalam ruang rumah yang masih menyala. Di lantai dua, sebuah kamar dan ruang tengah terlihat menyala. Lendi, seorang bocah berusia lima tahun, sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Di atasnya, jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam.

Kilat dan gemuruh, bergetar lagi. Lendi sedikit ketakutan. Dia turun dari kamarnya untuk berjalan keluar. Saat dia berjalan menyusuri lorong, lampu otomatis yang dilewatinya, menyala.

“Kakak,” panggilnya, parau. “Aku nggak bisa tidur.”

Dia terus melangkah sampai ruang tengah. Di sana, dia mendapati Emily yang tertidur di atas sofa. Emily tertidur saat laptopnya masih menyala. Layar laptopnya, menampilkan sebuah film dengan nuansa gelap dan menyeramkan, dengan alunan musik yang mengganggu telinga. Suaranya seperti gesekan biola rusak dan bertempo semerawut. Semua itu, menambah ketakutan Lendi terhadap kegelapan dan keheningan.

Masih dalam suasana kilatan petir, badai, dan hujan, Lendi mengendap-endap mendekati kakaknya. Sorot matanya tak henti-hentinya melihat layar laptop–seorang perempuan, mendekati sumur tua dengan wajah.

“Kakak, Kakak!” panggil Lendi sambil mengguncang-guncang tubuh Emily, dengan sorot mata yang terus terpaku pada laptop. Dia memanggil kakaknya lagi, kali ini dia mengguncangnya semakin keras. Tapi, Emily belum jua terbangun. Ketika melihat film yang masih berputar itu, wajahnya makin gelisah–perempuan di film itu, semakin dekat dengan bundaran sumur.

“Kak, Kak!” panggil Lendi sekali lagi dengan lebih keras. “Ahhh!” teriaknya amat kencang, ketika melihat sesosok pocong muncul dari dalam sumur di film itu.

Emily langsung terbangun. Dia melihat adiknya sedang menutupi muka dengan tangan. “Ada apa, Lendi?” tanyanya seraya memegangi Lendi. “Ada apa?”

“Ada hantu, ada hantu!” jawab Lendi sambil menunjuk ke arah laptop.

Emily tersenyum. Dia tahu apa yang menimpa Lendi. Dia melakukan gerakan snap. Lampu ruangan tempat mereka pun menyala. Setelah mem-pause film, dia menarik Lendi untuk duduk di sampingnya.

“Lendi, ini hanyalah film. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Ini semua hanya sandiwara. Ini semua hanyalah trik,” terangnya. Melihat gelagat Lendi yang masih ketakutan, dia sadar bahwa perlu pengibaratan sederhana untuk menjelaskan maksudnya kepada bocah lima tahun. “Lendi, kamu masih ingat ketika kamu ingin menjadi seorang Superman?”

Mata Lendi membulat. Dia mengangguk. “Iya, Kakak bilang kalau aku tidak akan bisa jadi Superman. Yang bisa, adalah aku menjadi pemain film Superman,” jawab Lendi.

“Iya, anak pintar. Sekarang, ikuti petunjuk Kakak. Cari tahu triknya!” Emily mendekatkan jari telunjuk dan tengah ke trackpad laptopnya. Dia memundurkan adegan dalam film dalam beberapa usapan. Layar laptop kembali memunculkan adegan di mana seorang wanita mendekati sumur. Suara instrument film yang menyeramkan, membuat meringkuk, menenggelamkan muka pada tubuh Emily. Emily tertawa. Dia pun mematikan volume. Selanjutnya, dia memutar sebuah lagu film anak-anak. “Kamu pasti hafal lagu ini.”

Lendi duduk tegak kembali, tetapi dia masih memalingkan muka dari arah laptop. “Lendi, tidak usah takut. Yang kau takutkan ini hanyalah sebuah trik suara dan gambar adegan. Lendi, apa kamu mau jadi pemberani selamanya,” ucap Emily.

Setelah Lendi mengangguk, Emily berkata, “Oke, sekarang lihat ke sini.”

Wajah Lendi sangat ragu, tetapi dia tetap mencoba. “Film ini akan aku putar lagi di adegan tadi, kamu lihat ya. Tenang saja, tidak ada suara seram lagi, hanya sebuah lagu Scoopy doo.”

Lendi mengangguk dengan kedua tangan yang mencengkram baju Emily. Gadis itu tertawa. Dia merasa kegelian. Film pun berputar kembali. Adegan yang baru ditakutkan Lendi, kembali akan dilihatnya. Cengkramannya semakin kuat ketika lubang sumur semakin terlihat. Lendi menjerit kembali saat sesosok pocong tiba-tiba muncul dari dalam sumur.

Lendi menenggelamkan mukanya lagi di punggung Emily. Meskipun instrument seramnya telah berganti menjadi instrument menyenangkan, Lendi masih saja ketakutan. “Lendi, Lendi, jangat takut. Petunjukku belum selesai. Katanya mau jadi pemberani selamanya. Lendi, di balik sosok superhero, ada seorang manusia yang memakai kostum superman. Di balik hantu yang ada dalam kartun Scoopydoo, ada manusia yang berada di balik topeng seram.”

Cengkraman Lendi mulai merenggang. Dia mulai bangkit dan duduk memperhatikan laptop. Ketika melihat sosok pocong dalam film yang sedang di-pause, sehingga menampakkan keseraman sosok hantu made-in Indonesia itu dengan sangat jelas, membuat Lendi memejamkan mata. 

“Lendi, anggap saja kita adalah pemain film Scoopy doo. Ikuti petunjuknya dan pecahkan misterinya,” tutur Emily.

Lendi membuka mata. “Sekarang,” kata Emily, “Lihatlah pocong ini lamat-lamat. Tidak ada yang perlu kau takutkan. Ini semua hanyalah trik.”

“Ini hanyalah sebuah film, di mana di balik kostum dan dandanan ini, ada manusia biasa yang melakukan adegan sandiwara ini,” dengar Lendi, pada penuturan Emily yang terdengar lembut.

Lagu Scoopy doo telah dimatikan. Emily akan mengulangi pelajaran melawan ketakutan sekali lagi. Tapi kali ini, dia menyuruh Lendi melakukannya sendiri. “Ketika filmnya main, lalu hantunya keluar, dalam ketakutanmu, tekan tombol ini.”

Film berputar kembali. Adegannya kembali terulang. Jantung kecil Lendi berdegup kencang kembali. Sesuai arahan, Lendi langsung mem-pause ketika pocong itu muncul. Mula-mula dia takut, tetapi lama kelamaan dia tidak lagi takut. “Ini semua hanyalah trik. Jikalau dia tidak memakai kostum ini, jikalau musik seramnya diganti lagu yang kau sukai, semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu kau takutkan, janji ya!”

Walaupun sudut mata Lendi tetap saja memperlihatkan keraguan, bocah itu tetap mengangguk mengiakan. Dia diajak oleh Emily untuk masuk ke kamar.

Lendi sudah berbaring di atas tempat tidurnya. Emily akan melakukan sebuah snap. “Kak, jangan dimatikan. Dari balik jendela, ada bayangan tangan,” ujar Lendi.

Emily tertawa. “Lendi ingat, tidak ada yang perlu kau takuti selama kamu tahu triknya.”

Gadis itu mematikan lampu. Betul kata Lendi. Ada semacam bayangan yang tampak seperti tangan bercakar. Lampu kamar kembali dinyalakan Emily sambil berjalan ke arah jendela. Meskipun angin bertiup kencang, dia tetap membuka jendela.

“Lihatlah Lendi, itu hanyalah bayangan ranting pohon,” ucapnya seraya menutup jendela. Dia pun kembali ke arah Lendi dan berkata, “Lendi, perhatikan tangan Kakak, kosong, ‘kan?”

Lendi melihat tangan kanan Emily kosong. Tidak membawa apapun. Tiba-tiba, dia terkejut saat Emily mengeluarkan sebuah kartu dari tangannya.

“Magic!” seru Lendi dengan bersemangat.”

“Ya, its magic,” jawab Emily. “Kamu ingin tahu bagaimana triknya?”

“Iya-iya, apakah Kak Emily mengucapkan avra kadabra?”

Lihat selengkapnya