Bilfagil

Faiz el Faza
Chapter #2

Jimat

Pagi-pagi sekali, mobil SUV milik Dahlan sudah terparkir di halaman rumah. Seperti akan berwarna hitam itu membawa banyak barang bawaan yang dipasang di atap mobil. Di dalamnya, ada Dena yang duduk di depan. Sementara itu, Lendi duduk di belakang. Anak dan ibu itu sedang menunggu seseorang.

Tak lama berselang Dahlan, ayahnya Lendi, datang. Dia menoleh ke belakang. “Kita awali perjalanan ke pesantren dengan bismillah,” ucapnya lembut.

Mobil mulai melaju. AC mobil mulai berembus menyebarkan aroma wangi buah melon. Sesegar aroma mobil, sesegar itu pula wajah suami istri Dahlan dan Dena. Hari ini, mereka akan mengantarkan putra semata wayangnya, Lendi.

Lendi duduk di belakang dengan cemberut. Berat rasanya pergi ke pesantren. Tidak pernah terpikir dalam benaknya bahwa pesantren­­–tempat yang sangat asing baginya–akan menjadi bagian dari cerita hidupnya selama tiga tahun. Tidak kurang dan tidak lebih. Sebab, hal ini dilakukannya sebagai sebuah syarat.

Beberapa hari yang lalu, terjadi sebuah pertengkaran antara dia dengan papanya. Kejadian itu terjadi sepulang sekolah.

Setelah mendorong pagar, Lendi memasuki halaman rumahnya. Sambil menenteng es teh di dalam kresek bening, dia membuka pintu rumah tanpa mengetuk, pun tanpa menguluk salam. Dengan memakai seragam SMP, sepatu hitam, celana pendek warna biru tua, ransel hitam berbahan kulit, kemeja lengan pendek dengan kancing kerah yang terbuka, dia berjalan di ruang tamu.

Dena Iriawan datang menghadang. “Apa apa Ma?” tanyanya.

“Lendi, kamu kemanakan kalung di atas pintu,” jawab Mama, sambil menatap ke arah atas pintu sejenak, lalu kembali menatap Lendi.

Lendi menunduk. Dia bukannya menaruh hormat, dia hanya menyembunyikan rasa sebal yang terpancar di wajahnya. “Aku buang,” jawabnya singkat seraya pergi.

“Lendi, kamu nanti dimarahin Papamu. Kembalikan!”

Lendi yang baru menaiki tangga berhenti dan menjawab tanpa menoleh. “Papa itu dokter. Seorang dokter yang selama ini mengobati orang-orang dengan ilmu sains lalu percaya dengan jimat, suruh berhenti aja jadi dokter,” katanya seraya meninggalkan Dena untuk berjalan menuju kamar.

Pintu kamar dengan sebuah poster Joker yang sedang memegang kartu AS, terbuka dari luar. Lendi masuk dan menaruh es yang dibawanya di atas meja dekat TV. Dia duduk di atas tempat tidurnya setelah menaruh ransel di samping. Kepalanya berputar memperhatikan tasnya sejenak. Tak berselang lama dia mengeluarkan sebungkus sandwich untuk dimakan.

Sambil menenteng bungkus sandwich untuk dibuang menuju tong sampah pijak, dia menyempatkan diri untuk menghidupkan TV. Dari dalam kamarnya, terlihat suasana luar yang sangat cerah. Langit begitu biru. Dan pastinya, cuaca cukup panas. Sebuah termometer dinding digital menunjukkan bahwa siang ini bersuhu 35 derajat. Pantas saja wajahnya kelihatan berkilau. Dia pun mengambil remote untuk menyetel AC. Aroma buah melon berangsur-angsur memenuhi ruangan.

Dia menghidupkan console game yang kemudian memproses tampilan pada layar TV. Deru kipas pada console game dan deru AC, terdengar berpadu. Setelah tampilan berganti dengan beberapa pilihan game, dia memilih sebuah game berburu zombie, Resident Evil. Sebuah  indikator isi volume sebagai tanda loading, terlihat di layar semakin terisi penuh. Sementara itu, volume dari es teh yang dia minum, terlihat semakin menipis.

Dengan duduk bersandar pada tempat tidur, dia bermain game. Jam dinding terus berdetak. Tiga jarum jam dinding saling bekejar-kejaran. Sementara itu, cahaya matahari yang menyelimuti ubin kamarnya, tepat satu meter dari tempatnya duduk, berangsur-angsur tertarik seperti ombak tepi pantai yang bergerak lambat dalam sebuah editan video.

Dari jendela kamarnya, langit sudah berwarna kekuningan. Lendi masih asik membombardir kepala-kepala zombie yang berusaha menyerang tokoh yang dimainkannya. Dia tidak lagi bersandar ketika tokoh yang dimainkannya, bertemu dengan raja zombie, Nemesis.

Lihat selengkapnya