Bilfagil

Faiz el Faza
Chapter #3

Sebuah Penawaran

Keesokan hari setelah pertengkaran itu, Dahlan terbangun dari gelagapan ketika dia ketiduran di atas meja kerjanya di rumah sakit. Dalam mimpinya barusan, dia seperti berada dalam situasi darurat yang tiba-tiba berubah mencekam.

Detak jantung seorang pasien, berdetak nyaris rata di monitor EKG. Dahlan, yang memakai masker, berusaha memompa jantung pasien. Beberapa suster dan perawat, tampak mondar-mandir.

“Tuuut!” bunyi monitor EKG, terdengar, menghentikan semua aktivitas dokter dan para suster dan perawat, di sebuah IGD rumah sakit.

“Tiara, catat tanggal kematiannya,” ucap Dahlan dengan lemas.

“Baik Pak.”

Beberapa saat kemudian, Dahlan akan menutup mata sang pasien wanita itu. Si pasien merupakan seorang wanita muda. Usianya masih dua puluh tahunan. Saat tangannya sudah berada di atas muka si pasien, Dahlan sempat menatap wajah ayunya sejenak. Sorot matanya kelihatan sedih. Dengan ucapan basmalah, dia menutup mata si pasien. Tangannya turun dengan lembut di muka si pasien.

Tiba-tiba mata Dahlan membelalak. Dalam pandangannya, tiba-tiba muka pasien berubah seperti Emily. Dia terdiam mematung menghadapi peristiwa ganjil itu. Tak berselang lama, mata si pasien yang ditutupnya, terbuka, memelolotinya dengan sorot mata penuh dendam.

“Kenapa Papa tidak menolongku, mengapa Papa membiarkanku mati” lirih si pasien.

Dahlan begitu terguncang. Semua orang berbaju hijau dalam ruangan, tak mengerti apa yang terjadi dengan Dahlan. Dahlan mundur ketakutan. Dia menabrak lemari besi yang berisi peralatan kedokteran, hingga membuat lemari itu jatuh. Berbagai benda, jatuh bergemerincing. “Maaf, maaf, maafkan Papa, Emily,” ucapnya sambil menangis.

“Ya Allahhh!” serunya kemudian.

Di luar ruangan, seorang perawat berlari kencang menuju ruangan Dahlan. Dia membuka pintunya. “Ada apa Pak Dahlan?” tanyanya, yang melihat Pak Dahlan duduk di kursinya dengan wajah linglung serta nafas terengah-engah.

“Tidak apa-apa,” katanya dengan terbata, “Saya mimpi buruk.”

“Oh iya, Pak,” kata perawat tersebut seraya menutup pintu.

Ada bunyi notifikasi WA di ponselnya. Dia pun melihat ada sebuah pesan.

Assalamualaikum Bapak, kami dari pihak sekolah anak Bapak. Jika Bapak berkenan, ada sesuatu yang ingin kami sampaikan.

Setelah Dahlan tampak membalas pesan itu, dia bergegas pergi dengan mengganti jas putihnya dengan sebuah jaket bomber merah untuk menuju ke sekolah Lendi.

Membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit untuknya sampai di sana. Dia langsung pergi menuju ruang BK. Setelah berjabat tangan dengan sang guru BK dan tampak bercakap-cakap sejenak.

Aku Lendi, Lendi Iriawan Basuki. Lahir di Jakarta, 19 Maret 2001. Aku lahir dari keluarga yang berkucupan. Papaku seorang dokter. Namanya Dahlan Basuki. Ibuku seorang ibu rumah tangga. Namanya Dena Iriawati. Meskipun orangtuaku termasuk orang yang berpendidikan, sayangnya itu tidak tercermin dari sikap dan pandangan hidup mereka. Mereka sangat percaya dengan takhayul dan mitos. Itu semua bertolak belakang dengan latar belakang mereka. Sewaktu kecil, aku tinggal di Jakarta. Namun, setelah kematian kakakku yang tragis, kami pindah ke Surabaya. Dan sekarang aku menempuh pendidikan di sekolah ini.

Di masa remaja ini, tidak banyak yang dapat kutulis. Intinya cuma satu, aku ingin pergi meninggalkan semua ini ketika sudah dewasa. Aku ingin hidup di tengah-tengah orang yang menjungjung tinggi sains dan logika. Aku ingin meninggalkan semua orang di sini. Aku ingin segera pergi meninggalkan sekolah ini. Bagiku, sekolah dan rumah ini keadaannya sama saja, dihuni oleh orang-orang bodoh yang mengedepankan dogma dan doktrin atas nama tradisi dan budaya ….

Dahlan tak sanggup meneruskan tulisan yang dibuat oleh putranya itu. Dia merasa getir. Kelopak matanya menyipit sepeti menahan lara. Segurat kekecewaan terpancar jelas di wajahnya.

Lihat selengkapnya