Seperti CPU komputer, semenjak terjadi penawaran dari Dahlan, pikiran Lendi hanya berhenti berproses saat dia tertidur. Lendi ada di lantai dua, di kamarnya. Sementara itu, papa dan mamanya, sedang bersantai dengan menonton televisi di ruang tengah.
Lendi memainkan kartunya dengan cara melemparnya ke sebuah target: sebuah celah yang sangat sempit di antara dua buku besar yang berdiri berhimpitan. Dia ingin salah satu kartunya, menancap di sana. Hitung-hitung sambil melepas penat. Kartu-kartu yang tersebar di lantai, menggambarkan kegagalannya yang terjadi berulang kali. Dia terus melempar dan melempar. Sampai akhirnya, tanpa sadari kartu yang baru saja dilemparnya, menancap di celah sempit. Ketika berhasilan sudah dilewatinya, tidak ada raut senang yang terpancar. Tidak ada perayaan. Dia hanya duduk terdiam. Seolah-olah dia berkata, “Mau apa lagi aku sekarang?”
Dia pun berbaring. Dengan telentang, matanya berkedip beberapa kali. Kedua tangannya terjulur bebas ke samping kanan dan kiri. Lalu, dia merasakan sesuatu yang menyentuh kulit jari-jemarinya. Diambillah benda itu untuk di dekatkan ke mukanya. Sebuah lambang hati, kemudian tercermin dari kedua bola matanya.
Kartu As yang dipegangnya itu mengingatkannya kepada Emily. Dia miring ke samping. Emily ada di sana, duduk bersila di tempat tidurnya. Emily tidak sendiri. Ada seorang anak kecil di depannya. Anak kecil itu terpukau ketika melihat Emily memainkan kartu. “Ini namanya, riffle shoufle,” kata Emily pada anak kecil itu.
Lendi kembali telentang ke atas. Emily dan anak kecil yang merupakan dirinya sendiri di masa lalu, telah menghilang dalam ingatannya barusan. Tetapi, tetap abadi hatinya.
Tiba-tiba, sebuah kertas salinan tugas terjatuh. Aku Lendi, Lendi Iriawan Basuki, bacanya. Kegiatannya terputus. Dia mengambil kertas itu untuk dibacanya sekali lagi sambil bersandar di dinding. Lama kelamaan, pikirannya kembali mengingati kembali pertemuan dengan gurunya di ruang BK. Kejadian itu terjadi setelah Subhan, guru Bahasa Indonesia di SMA-nya, membaca lagi tugas yang dia tulis.
Atas tulisannya itulah saat itu dia harus berakhir di ruang BK.
“Apa apa Bapak memanggil saya?” tanya Lendi saat itu pada guru BK, Pak Warno.
Dia mendongak. “Iya, ini karena tulisanmu.”
“Ada yang salah kaidah kepenulisannya?”
“Bukan seperti itu, tetapi isinya! Mengapa kamu menuliskan tulisan semacam ini.”
Kedua bola mata Lendi, menatap lurus ke arah mata Pak Warno. “Mungkin, karena saya cerdas, Pak.”
Jawaban itu membuat alis Pak Warno terangkat. Dia melongo dalam beberapa detik sebelum mengalihkan pandangan ke sekitar, lalu menatap Lendi kembali. “Lendi, banyak hanya mengindikasi, mencegah hal-hal buruk yang akan kau hadapi, jika kamu memiliki pandangan seperti ini. Seharusnya, pemikiran seperti ini, tidak dimiliki oleh anak seusia kamu,” katanya.
Tatapan mata Lendi masih belum berpaling. “Bapak, semua saintis di dunia ini, mempunyai pemikiran yang jauh melampaui usia mereka,” jawabnya.
“Iya, kamu benar. Bapak hanya ingin meluruskan saja.” Pak Warno berbicara. “Lendi,” ucapnya sambil mengarahkan telapak tangan ke arah Lendi yang tampak gatal untuk segera menjawab, “Bapak tahu kamu pintar. Sebagai wali kelas, saya salah terus menerus menyanyaimu ‘mengapa dan mengapa’. Seharusnya, Bapak menanyaimu ‘apa’.”
Lendi mulai mendengarkan dengan sabar.
“Lendi, ingin jadi orang seperti apa kamu di masa depan?”
Lendi mencerna pertanyaan itu dengan saksama. “Stephen Hawking,” jawabnya.
Pak Warno geleng-geleng kepala karena takjub. “Lendi, luar biasa,” pujinya, “Tetapi, semua hal punya konsekuensi. Bapak bukan guru IPA, tetapi Bapak pernah membaca buku biografi ilmuan itu. Ya benar, pemikiranmu melebihi usiamu. Tetapi, segala hal mempunyai konsekuensi seperti dalam sains, selalu ada sebab akibat. Ini bukan nasihat, tetapi anjuran agar kamu tidak setengah-setengah memahami sains, maksudnya jangan hanya mencari tahu kebenaran akan sesuatu, tetapi carilah hakikat kebenaran di dalamnya.”
***
Lendi duduk di atas teras seusai mengingat peristiwa itu. Ada hal penting yang berkerlap-kerlip di pikirannya.
“Tetapi, semua hal punya konsekuensi. Bapak bukan guru IPA, tetapi Bapak pernah membaca buku biografi ilmuan itu. Ya benar, pemikiranmu melebihi usiamu. Tetapi, segala hal mempunyai konsekuensi seperti dalam sains, selalu ada sebab akibat. Ini bukan nasihat, tetapi anjuran agar kamu tidak setengah-setengah memahami sains, maksudnya jangan hanya mencari tahu kebenaran akan sesuatu, tetapi carilah hakikat kebenaran di dalamnya,” ujar Lendi, mengulang kembali dialog gurunya dengan utuh.
“Segala hal mempunyai konsekuensi seperti dalam sains, selalu ada sebab akibat,” ujarnya, mengulangi kalimat yang tergariswabahi dalam kepalanya. Dia mengulangi kalimat itu, lagi dan lagi. Lagi dan lagi.
Pikirannya, tenggelam dalam konklusi, sampai-sampai badannya tergeletak di atas lantai. Tiba-tiba dia terbangun. “Karena setiap hal mempunyai konsekuensi, maka dibutuhkan sebuah pengorbanan,” batinnya, “Ya, jika aku ingin kuliah ke luar negeri seperti yang aku harapkan, aku harus siap menanggung konsekuensinya. Bagaimanapun juga, aku tidak bisa berada di sini.”
Dahlan pulang di malam hari. Dena menyambut kedatangannya. Ketika mereka berdua tampak bercakap-cakap, Lendi tiba-tiba muncul mendekati mereka. Dahlan dan Dena saling tatap sejenak. Lendi tidak langsung berbicara. Dia hanya menunduk. “Ada apa Len?” tanya Dahlan.
Lendi mendongak. Tatapannya terarah pada tempat di mana jimat yang biasa dipasang. Dahlan dan Dena kompak menoleh ke belakang dan baru menyadari kalau jimat yang baru dipasang kemarin sudah hilang lagi. Ketika mereka menoleh ke Lendi kembali, di hadapan mereka, tertodong sebuah jimat yang seharusnya ada di dinding.
“Kalian tak perlu khawatir kubuang,” ucap Lendi sambil menarik tangannya, “Jimat ini aku bawa.”
“Kenapa Len?” tanya Dahlan.
“Papa memberikanku hadiah sekaligus sebuah syarat. Aku menerimanya. Dan aku juga akan memberikan Papa sebuah hadiah sekaligus syarat. Kita impas.”
“Apa Anak?” tanya Dahlan.
“Aku mau ke pesantren, dengan sebuah syarat?”
Muka Dahlan dan Dena langsung sumringah. “Apa Anak?” tanya Dahlan.
“Jangan pernah memasang jimat serta sesajen di rumah ini lagi!”
Dahlan pun mengiyakan persyaratan itu.
Persyaratan belajar di pesantren selama tiga tahun alias menghabiskan masa-masa SMA itulah yang kini membuat Lendi dibawa pergi oleh orangtuanya dalam perjalanan menuju penjara suci. Sebuah pesantren yang bernama Pondok Pesantren Salafiah Maja.
Sementara itu di Pondok Pesantren Salafiah Maja, santri terpaksa boyong atau keluar hari ini, disebabkan oleh suatu peristiwa supranatural yang menyebabkannya kesurupan. Dia adalah anak orang konglomerat ternama. Setiap pondok pesantren, pasti kamarnya campur, satu kamar dipakai untuk menampung beberapa santri. Tetapi, si konglomerat itu tak mau. Dia ingin anaknya mendapatkan fasilitas VIP dengan cara satu kamar ditempati oleh satu orang. Mula-mula, hal itu ditolak oleh pondok pesantren. Namun, si konglomerat ini tetap bersikeras. Pada akhirnya, pihak pesantren mau mengabulkan dengan sangat terpaksa sebab si konglomerat itu memutuskan untuk membeli satu kamar pesantren khusus untuk anaknya. Dan peristiwa supranatural pun muncul pada malam harinya, tepat di malam pertama si anak konglomerat itu mondok.
Rona ayu sang purnama bersinar terang. Di sebuah asrama pesantren, seorang ustad mematikan saklar. Dalam sekejap, seluruh lampu asrama mati. Keadaan asrama menjadi gelap gulita. Cahaya bulan yang sangat cerah sangat menguntungkan. Rembulan yang cerah, secara remang-remang menerangi jalanan berpaving sepanjang halaman asrama.stad tersebut mengambil sebuah sorban hijau panjang hangat yang menghangatkan lehernya. Cuaca malam ini cukup dingin. Sesaat setelah keluar dari kamar, dia menyalakan senter yang dibawanya. Dia berjalan-jalan menyusuri teras area asrama. Asrama itu berbentuk memanjang sekitar dua puluh empat meter yang mampu menampung sepuluh dua belas kamar.
***