Dahlan dan Dena sudah bersiap untuk istirahat malam ini. Pasangan sudah yang sudah menikah selama 25 tahun itu sudah sama-sama memakai piama. Saat hendak berbaring, Dahlan melihat di samping Dena berbaring, di lemari kecil berwarna putih, terdapat kotak kartu yang tadi disitanya dari Lendi. “Ma, sini Ma, kartunya, aku mau lihat,” katanya.
Dena sebenarnya bingung dengan kehendak suaminya. Dia tetap mengambilnya dan memberikannya. “Buat apa, Pa?” tanyanya saat melihat Dahlan mulai membuka kotak itu.
Ketika Dahlan membukanya, matanya melotot. Dena penasaran. “Kenapa, Pa?” tanyanya.
Dengan lemas, Dahlan menatap Dena. “Ma, kita ditipu,” jawabnya sambil mengeluarkan tumpukan kertas putih polos biasa dan tak berguna.
Dena seketika tertawa terbahak-bahak. “Pa, Pa, ayo tidur. Jangan dipikirin.”
“Iya,” jawab Dahlan seraya berbaring dengan gerakan kaku. Kini, pasangan suami istri itu telah sama-sama telentang dengan selimut yang menutupi sampai dada. Dena masih tertawa kecil. Sementara itu, Dahlan masih kelihatan syok. “Pa,” panggil Dena.
“Iya, Ma.”
“Menurutmu, apakah Lendi akan kesulitan beradaptasi. Mikir gimana cara dia pakai sarung saja aku sudah tidak bisa.”
“Tenang Ma, dia anak cerdas. Insallah bisa beradaptasi. Satu-satunya yang sukar diadaptasi dari Lendi cuma satu.”
“Apa?”
“Pemikirannya yang melebihi zaman. Sebenarnya itu baik. Tapi, ini semua terlalu cepat. Kemudian, ke mana arah zamannya? Iya kalau ke arah baik, bagaimana jika buruk?”
“Tenang Pa, aku yakin entah kapan waktunya, dia akan menemukan siapa dirinya, siapa Tuhannya. Bukankah banyak saintis yang akhirnya sama-sama memeluk apa yang kita peluk.”
Kemudian, tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Dahlan mulai terlelap. Matanya mulai menutup pelan-pelan. Sementara itu, Dena masih terjaga. Matanya masih segar oleh pikiran yang terus menerus penasaran akan Lendi. Dia berpikir bagaimana Lendi memakai sarung? Bagaimana Lendi tidur malam ini? Bagaimana Lendi bangun keesokan harinya? Bagaimana Lendi sarapan? “Nak,” batinnya, “Doaku menyertaimu.”
***
Sore tadi, Fairus dan Lendi sangat sibuk berdua di kamar. Lendi yang sangat awam dengan kehidupan pesantren, dibantu oleh Fairus dengan telaten. Begitu masuk ke kamar, mula-mula Fairus memberikan Lendi sebuah kunci lemari. “Nah, ini adalah lokermu,” katanya sambil menunjuk sebuah loker paling atas. “Di bawah ini lokerku. Loker ini harus dikunci setiap saat jika kamu tidak ingin barang-barangmu dicuri?”
“Ha, dicuri! Bukankah ini adalah lingkungan agamis?”
“Nggak gitu, maksudnya kejahatan itu terjadi setiap saat. Bersikap waspada juga ajaran agama kok.”
Setelah mengajari bagaimana menata pakaian dan barang-barang di lemari, Fairus mengajari bagaimana cara memakai sarung, langkah demi langkah. “Makai sarung itu caranya gini,” kata Fairus sambil mengudar sarungnya, “Ujung sarungnya dilipat sesuai tinggi badan kita, usahakan ujung bawahnya tidak menyentuh lantai.”
“Kenapa kalau nyentuh lantai?”
“Takut ada najis.” Setelah melihat Lendi menirunya, Fairus berkata, “Setelah itu lipat bagian kanan, set!”
Lendi menirukan.
“Lipat bagian kiri, set!”
Lendi juga menirukan.
“Lalu, gulung dibagian perut.”
Lendi menggulung ujung sarung bagian atas diperutnya. Fairus menyuruhnya jalan. Lendi mematuhinya. Dia melihat Lendi yang berjalan mondar-mandir dengan langkah gontai seperti bocah yang baru sunat. Sahabat barunya itu rupanya tak nyaman. Benar saja. Tiba-tiba sarung yang dipakai Lendi melorot. Fairus geleng-geleng kepala.
“Maaf” ucap Lendi pada Fairus. Lendi pantang menyerah. Dia tetap mencoba lagi dan lagi sampai akhirnya berhasil. “Andai Mama tahu kalau aku sekarang bisa pakai sarung, pasti dia senang karena aku berhasil,” ujarnya.
Jam makan sore di pesantren tiba. Fairus memberi Lendi sebuah piring. Lendi yang telah menerimanya, agak bingung melihat teman-teman asramanya keluar dari asrama. “Mereka mau ke mana?” tanyanya.
“Ngambil makan. Ayo ikut aku. Kita ke ruang makan ambil makan.”
“Oke.”
Begitu sampai ruang makan, Lendi amat terkejut. Dia melihat tiga barisan yang mengekor ke belakang kira-kira sepanjang tujuh meter. Dia berada di belakang Fairus, memanggilnya, “Rus, kita mau ngapain?”
“Antri makan! Sepanjang ini!” Fairus geleng-geleng kepala. “Primitif. Mengapa nggak disediain di kamar coba.”
Fairus hanya tertawa mendengarnya. Sementara itu, antrean begitu panjang. Lendi merasa keram harus berdiri terus. Di tengah-tengah menahan sabar, dia melihat ada beberapa gerombolan yang menyerobot antrean. “Heh, Rus, itu kok nyerobot, wah nggak bisa dibiarin,” katanya sambil melangkah.
Fairus segera mencegah Lendi dengan menahan badannya. “Jangan, mereka geng di pondok ini.”
“Tapi kan”–
–“Sudahlah, bersabar juga bagian dari pendidikan pesantren.”
Lendi menurut meskipun dengan tatapan marah. Setelah menunggu lama, akhirnya gilirannya tiba. Lendi mengamati Fairus yang menyodorkan piring ke sebuah jendela di mana di balik jendela itu terdapat seorang petugas yang melayani. Setelah diisi nasi, harus pindah ke sebelah kiri untuk supaya nasinya ditumpangi lauk. Lendi menirukan langkah-langkah Fairus. Kemudian mengikuti langkahnya untuk duduk di kursi beton dan menikmati makan sore.
Fairus sudah mengunyah makanannya dengan lahap. Di tengah mengunyah, dia sadar kalau Lendi hanya terdiam menatap makanannya. “Kenapa, Len?” tanyanya.
“Makanan apa ini?” tanya Lendi sambil terus mengamati makananya. Dia ragu untuk memakan nasi dengan corak yang seperti itu, warna putihnya agak kusam. Teksturnya seperti nasi kemarin yang dicampur dengan nasi panas yang baru matang. Lalu, lauknya juga aneh. Dia melihat lauk berupa mi bihun kecap dengan campuran sayur. Baginya, bentuk dan warnanya menjijikan.
“Coba aja dulu,” kata Fairus.
Lendi mulai memakannya. Begitu dia mengunyahnya, dia merasakan rasa nasi yang aneh. Lauknya pun seperti mi bihun dengan bumbu garam tanpa penyedap apapun. Rasanya hambar. Ketika dia menelannya, mukanya meringis. Matanya seolah mau berair. Pun seolah-olah mau muntah, sehingga rasanya begitu mengganjal di tenggorokan. Lendi menjauhkan piringnya dan menyerah.
“Len, kalau kamu nggak makan, bagaimana nantinya. Makan saja. Nikmati saja.”
Lendi mengangguk tak bersemangat. Dia memaksa mulutnya supaya mau mengunyah. Ketika dia menggigit kerupuk yang merupakan sandingan dari mi bihun kecap dengan rasa tak jelas itu, dia merasa kerupuk itu sudah ayem. Tidak hanya itu, baunya juga tengik.
Pada malam harinya, jam persiapan tidur dimulai. Di kamar Lendi, para santri sedang menata alas tidur masing-masing dengan bentuk dan desain yang bermacam-macam. Alas tidur Lendi dan Fairus bersebelahan. Mereka berdua sudah duduk di alas tidur mereka masing-masing. “Lendi, kamu nggak kebelet pipis?” tanya Fairus.
“Enggak, kenapa emang nanyain itu? Kayak nanyain anak kecil,” jawab Lendi.
Iqbal, teman sekamar, menyahut, “Len, kalau malem-malem nanti kamu kebelet pipis, jangan lupa ajak teman kalau mau ke kamar mandi.”