Lendi lebih banyak terdiam setelah mendengar ucapan Fairus. “Apa aku ini orang nggak waras.” Kalimat itu, terngiang-ngiang terus-menerus di kepalanya. Seusai apel pagi dilaksanakan, Lendi mengikuti Fairus menuju kelasnya, kelas X-A.
“Aku duduk di mana, Rus?” tanya Lendi di lorong sekolah. Nada suaranya tak bergairah.
“Bareng aku,” jawab Lendi saat memasuki kelas.
Lendi masih mengikuti Fairus ketika di dalam kelas. Kursi itu berada di kursi pojok paling bagian tengah. Dan di samping kirinya adalah bangku kosong. Kelas X-A terletak di pojok area sekolah SMA Wali Songo. Dari jendela kelas X-A yang menghadap ke belakang, tersaji pemandangan sungai Manten yang melintasi pesantren. Sepanjang aliran sungai Manten yang melintasi Salafiah Maja, ditumbuhi oleh tetumbuhan. Paling banyak ditumbuhi pohon-pohon bambu yang menjulang melengkung dari dua sisi tepi sungai, kiri dan kanan, sehingga seolah-olah membentuk gua.
Pelajaran pertama telah berlangsung. Lendi tak paham dengan pelajaran itu. Dia tidak memahami pelajaran Bahasa Arab sama sekali. Dia pun lebih banyak bengong dengan pikiran yang ke mana-mana. Dia mulai kelihatan lelah saat harus melihat guru berjenggot tipis di depannya menulis huruf-huruf Arab. Melihat bentuk-bentuk huruf-huruf Arab sudah membuatnya pusing. Apa lagi harus memahaminya. Saat dia menaruh kepalanya di atas meja, pikirannya kembali ke masa lalu.
Dulu, dia mempunyai sahabat yang bersamanya sejak SMP, Trisna.
***
Langkah Trisna di atas lapangan basket SMA Negeri 1 Surabaya, terhenti ketika tatapannya mengarah ke atas. Matanya tetap memicing walaupun tangannya sudah berada di dahinya untuk melindungi pengelihatan dari sinar matahari. Sesosok manusia yang berdiri di atas sana, dalam pengelihatannya seperti siluet karena sedang membelakangi sinar matahari. Tetapi, dia tetap tahu siapa itu.
Di atap lantai tiga, Lendi berdiri sendirian sambil memegangi pagar berwarna hijau setinggi perut. Dia mengamati gerakan arus gumpalan awan. Tiupan angin di lantai tiga, bergerak lebih bebas dan merdeka. Membuat baju dan rambut halusnya, berkibar-kibar. Dia merasakan kedamaian. Namun itu semua berubah, ketika dia melihat ke bawah. Walaupun wajah seseorang yang menatapnya tertutupi oleh tangan yang melindungi dari silaunya matahari, dia tetapi tahu siapa itu.
Mereka berdua telah bersahabat sejak lama, tetapi semua berubah sejak beberapa minggu yang lalu.
AC yang menyala sekitar satu jaman, telah berusaha menahan uap panas dari CPU-CPU yang bekerja di Lab. Komputer. Uap panas dan hembusan AC, bercampur baur tak keruan. Lendi meregangkan otot-ototnya. Saat melihat jam dinding, dia menyadari kalau jam TIK akan berakhir beberapa menit lagi.
Seperti pada umumnya, bagi siswa siswi di sekolah Lendi, salah satu jam paling menyenangkan di sekolah adalah jam kosong saat pelajaran TIK. Lendi dan teman-teman sekelasnya, bisa mengoperasikan komputer dan mengakses semua hal yang mereka inginkan di Lab. Komputer sekolah.
Berbagai macam sosial media, terbuka. Konten berbentuk video menjadi akses yang paling banyak mereka tonton. Mulai dari konten joget sampai konten religi, tersaji di depan layar 11 inch. Satu-satunya anak yang sedari tadi paling serius duduk di depan komputer, hanya Lendi seorang. Layar komputernya menampilkan artikel-artikel mengenai universitas-universitas luar negeri. Universitas Leiden, Belanda, menjadi salah satunya.
Tanpa mematikan komputer, dia meninggalkan tempatnya. Ada kerumunan kecil di salah satu komputer di depan sana, dekat dengan pintu ke luar. “Tris, ayo ke kantin,” ucapnya pada sahabatnya, yang menjadi anggota kerumunan.
“Iya, tunggu,” jawab Trisna tanpa menoleh.
Lendi menunggu Trisna di pintu. Dia menyandarkan lengan kirinya ke kusen, sembil bersidekap. Sekumpulan anak melewatinya, menuju ke arah kantin. Setelah beberapa saat berlalu, sekumpulan anak yang melewatinya itu, kembali dengan membawa snack dan minuman. Dia pun menoleh ke arah Trisna dengan tak sabaran.
“Tris, ayo,” katanya sambil mendekati Trisna.
“Iya, bentar.”
Melihat Trisna yang tak acuh padanya, dia pun merangsek kerumunan. Rupanya, Kino sedang menonton suatu acara sulap di Youtube–seorang pesulap membalikkan gelas yang berisi air, namun tidak jatuh, lalu air itu jatuh seolah-olah pesulap itu mengendalikan air. Semua mata kerumunan, memancarkan antusiasme dan ketakjuban. “Alah, itu semua hanya trik,” ucapnya.
“Kalian semua, mudah sekali dibohongi,” tutupnya, sehingga membuat beberapa anak, menatapnya, termasuk Trisna.
Indra, seorang anak bermata polos membantah. “Wah enggak, ini adalah sebuah sihir. Tidak mungkin toh air bisa tidak jatuh, sementara air bersifat menempati ruang,” katanya.
“Indro,”–
–“Indra.”
“Ya, Indra, rupanya kamu hanya mempelajari sains secara dangkal. Kalau aku bisa melakukannya, apa kamu mau menelan ludahmu.”
Dengan tingkah kikuk, Indra yang menelan ludahnya, malah tampak seperti sedang takut. Kino menoleh tajam ke arah Lendi. “Emang kamu bisa?” tantangnya.
Tatapan itu membuat Lendi balas menatapnya. “Itu perkara yang mudah.” Lendi pergi meninggalkan kerumunan. Dengan badan yang membelakangi mereka–dia tampak mengolah sesuatu–dia berkata, “Tidak ada sulap pun di dunia ini yang dibantu sihir, jin, atau pun kekuatan supranatural lain. Semuanya itu hanyalah trik, sains, dan keterampilan.”
Lendi berjalan ke kerumunan, sambil membawa segelas air mineral. Tutup kemasan telah menghilang. Gelombang air dalam gelas terlihat dengan kentara. Mengikuti langkah Lendi yang menuju ke kerumunan.
Semua anak terdiam ketika Lendi mengarahkan gelas itu ke muka mereka. Kemudian, dia menjungkirnya. Semua langsung terpana begitu melihat air itu tidak jatuh. Indra kegirangan. Tangan kiri Lendi yang bersembunyi di balik punggung, keluar sambil memperlihatkan sebuah gayung. Air dalam gelas jatuh mengguyur.
“Kunci trik sulap ini ada pada lubang ini,” terang Lendi seraya memperlihatkan lubang kecil pada sis gelas plastik, “Jika lubang itu aku tutup maka airnya akan tertahan oleh udara. Pahami triknya!”
Indra mengangguk-angguk. “Lantas, bagaimana dengan memunculkan burung atau kelinci dari dalam topi yang kosong? Dari mana coba kalau tidak dibantu sihir.” tanyanya.
“Itu semua hanya tipuan dan ilusi.” Lendi berkata sambil mengangkat tangannya ke samping untuk menunjukkan pada semua bahwa dia tidak memegang apapun. Dan dalam sekali gerakan tangan, muncul sebuah kartu dari tangannya. “Pahami triknya. Semua panggung sulap selalu menghadap penonton. Tidak ada sulap dengan tata panggung seperti Coloseum. Kenapa? Karena di belakang pesulap, tersimpan kunci ilusi.”
Semua mata melihat Lendi yang bergerak membelakangi, setelah sebelumnya dia menghilangkan kartunya dengan sangat cepat, seolah-olah kartu itu hilang dan berteleportasi entah ke mana. Sekarang, semua jadi paham triknya. Mereka bisa melihat Lendi yang menyembunyikan kartu di balik punggung tangannya.
Lendi memutar badan kembali. Tiba-tiba, Lendi mengeluarkan sebuah kartu dari mulutnya, sehingga membuat semuanya takjub. Tak cukup sampai di situ. Dia membuat kartu yang baru saja dikeluarkannya, melayang-layang di antara kedua tangannya. Semua mata, memelototinya.
“Pahami triknya,” kata Lendi sambil menunjukkan sebuah perekat transparan di ujung jari telunjuknya.
“Ohhh, begitu,” kata sebagian anak.
“Tidak ada sihir dalam sulap. Tidak ada avra kadabara dalam sulap. Itu semua cuma cerita dongeng sebelum tidur. Tidak ada sapu terbang. Tidak ada ramuan menghilang. Jika aku hidup di masa lampau dan melakukan hal tadi, orang-orang pasti mengira kalau aku ini penyihir. Tahu apa yang akan terjadi padaku selanjutnya?” kata Lendi.