Bilfagil

Faiz el Faza
Chapter #7

Disosiative Trance Disorder

Niatan Lendi untuk mengajarkan kepada Fairus mengenai keadaan yang sebenarnya dialaminya terjadi di jam istirahat. Lendi mengajak Fairus untuk duduk berdua sambil memakan snack di depan gedung laboratorium. Mereka berdua duduk-duduk di batas teras gedung tersebut.

“Fairus, sebuah pertanyaan untukmu,” kata Lendi, memulai, “Bagaimana kamu mengetahui apakah kamu mempunyai kemampuan khusus, atau gangguan jiwa?

Fairus tidak menjawab.

“Aku menanyakan hal itu karena kebanyakan orang, bahkan orangtua, memiliki kepercayaan bahwa seseorang ataupun anak mereka mempunyai kekuatan cenayang,” ujar Lendi.

“Apa itu cenayang?”

“Ya kayak kamu itu, cenayang namanya. Nah, mereka yang meyakini bahwa seseorang memiliki semacam kekuatan cenanyang, bisa melihat hantu, aura, cakra, meramal masa depan, berinteraksi dengan orang mati, mereka menyebutnya sebagai anak indigo. Tetapi, sebenarnya hal itu sangat tidak masuk akal, karena tidak terbukti secara empiris, ilmiah, dan objektif. Satu-satunya jawabannya adalah sebenarnya indigo hanyalah istilah yang muncul dari fantasi manusia itu sendiri, dan menurut kedokteran, nama anak yang diyakini memiliki kemampuan cenayang atau indigo adalah ADHD.”

“Apa itu?”

“Neurodevelopmental disorder of childhood. Kombinasi dari gangguan perkembangan yang disebabkan oleh faktor biologis atau faktor saraf. Jadi, indigo itu cuma label yang dibuat orang-orang.”

“Jadi sebenarnya, indigo itu tidak ada?”

“Ya, seperti sulap.”

“Sulap?”

“Ya, sulap. Tidak ada sulap yang benar-benar ada sihir di dalamnya, tidak ada sulap yang benar-benar si pesulapnya memiliki kekuatan tertentu di dalamnya. Apapun itu, mau itu kebal kek, mau itu telekinesis kek, apapun, itu tidak ada. Itu semua hanyalah trik.”

“Trik.”

“Ya, kakakku pernah bilang, pahami triknya. Artinya, pelajari bagaimana cara kerjanya. Supaya, kita tidak cacat logika dalam memahami sesuatu. Tidak ada sulap yang benar-benar sihir atau kemampuan tertentu, pun tidak ada indigo yang benar-benar asli memiliki kemampuan percenayangan atau pun indra keenam. Munculnya istilah itu sendiri hanyalah sebuah label.”

“Label, maksudnya?”

“Label yang kumaksud di sini adalah kepentingan, entah untuk mencari perhatian, atau pun ketenaran. Cenayang-cenayang dalam televisi misalkan. Acara yang berhubungan dengan cenayang, pasti banyak yang nonton, iya, ‘kan? Padahal itu hanyalah kepentingan untuk cari uang.”

Bel tanda masuk kelas, menghentikan pembicaraan mereka berdua.

***

Keterangan yang Lendi sampaikan, masih belum selesai. Fairus pun masih diliputi banyak sekali pertanyaan. Bagi Fairus, penjelasan Lendi memang tidak terbantahkan bukti-buktinya secara nyata, tetapi entah mengapa jiwanya menolak. Fairus merasa ada yang kosong dalam dirinya. Berhari-hari dia memikirkan hal tersebut.

Siang ini, dia diam di beranda mushola dengan pikiran yang masih mencoba mencerna apa yang dibicarakan oleh Lendi beberapa hari yang lalu. Sementara itu, Lendi yang masih ingin menerangkan panjang lebar pengetahuannya mengenai ketidakabsahan pandangan mengenai kasus-kasus supranatural, terjeda sangat langat.

Di kala Fairus sedang gundah untuk menemukan keyakinan diri dan termenung di teras mushola, Fairus sedang bersama Iqbal di dalam mushola. Dia sedang belajar cara menulis huruf pegon Jawa untuk memaknai kitab. Itu dimulai ketika dia sedang mengaji pada pada jam diniah beberapa hari yang lalu, di mana dia tak habis pikir dengan ilmu pesantren. Di dalam ruang tempatnya mengaji, dia menengok Fairus yang sedang memaknai kitabnya menggunakan Bahasa Jawa Pegon. “Ha, kita harus menulis apa yang ustad bacakan pakek huruf Arab sekecil itu?” bisiknya pada Fairus saat pengajian kala itu.

“Tidak, ini memang pakai huruf Arab, tapi bukan bahasa Arab, ini aksara jawa pegon istilahnya.”

“Buat apa emang?”

“Ini kan kitabnya pakek Bahasa Arab, nah, diterjemahin per kata pakek Bahasa Jawa, supaya kita bisa paham.”

“Kenapa nggak pakek terjemahan aja?”

“Ya, inilah pesantren salafiah.”

“Waduh, ribet. Mengapa sih orang-orang di sini selalu pakek cara yang ribet. Mengapa nggak langsung mempelajari kitab terjemahan aja coba.”

“Sssst!” Iqbal tiba-tiba menengahi. “Jangan ramai, entar aku ajarin.”

“Ya, itu betul,” sahut Fairus kembali, “Nanti aku ajarin juga, pelan-pelan. Di sini semuanya dulu juga awam kayak kamu kok. Akhirnya ya lama-lama bisa.”

Setelah dalam beberapa hari yang lalu Lendi belajar pada Fairus, siang ini Lendi belajar pada Iqbal. Di papan tulis, Iqbal tampak menulis beberapa cara menulis huruf Arab. Apa saja huruf-hurufnya. Bagaimana cara menggabungkan huruf dalam Bahasa Arab untuk ditransformasikan ke dalam aksara Jawa Pegon. Setelah menerangkan dan menguji hasil tulisan Lendi, Iqbal berkomentar, “Tulisan macam apa ini?”

“Kenapa?” tanya Fairus.

“Bulet-bulet kayak set makanan busuk.”

Lendi langsung berbaring. “Capek aku, salah terus.”

“Ya, kalau kamu nggak mau belajar ya gimana nanti mau lulus kelas diniah. Kalau nggak lulus nanti gagal kamunya pergi ke luar negeri. Ayo belajar lagi.”

Pada malam harinya, Fairus mendatangi Lendi di kamar setelah jam belajar wajib, selesai. “Len, kamu nggak lapar, ayo ke kantin,” pintanya.

“Ayo, aku lapar,” kata Lendi sambil mengikuti Fairus.

Dalam perjalanan, dia bertanya, “Rus, kita ke kantin mana ini? Nggak ke kantin yang di belakang asrama Wali Songo?”

“Enggak, sekali kali kita ke kantin dekat gerbang. Kita makan mi.”

Lendi sangat tertarik. “Makan mi?” tegasnya.

“Ya, mi instan!”

Ketertarikan Lendi sirna begitu dia sampai di kantin yang Fairus maksud. Kantin itu berbeda dengan kantin yang ada di belakang asrama Wali Songo yang rapi dan bersih, dengan dominasi makanan ringan sachetan. Kantin yang berada di gerbang tersebut lebih besar sekaligus lebih kotor. Bentuknya memanjang dari utara ke selatan, dan menghadap ke jalan raya.

Lihat selengkapnya