Bilfagil

Faiz el Faza
Chapter #8

Apakah Jin itu Benar-Benar Ada, atau Hanya Dongeng Semata?

Siang ini, Lendi dan Fairus duduk berdua di mushola Sunan Giri. Bangunan mushola yang terbuat dari kayu itu merupakan salah satu tempat yang paling nyaman dan sejuk di kala matahari sedang panas-panasnya. Lendi dan Fairus duduk bersandar di dinding.

Sementara itu, ada Iqbal yang duduk menatap mereka berdua. Dia menopang dagu. Dia tampak berpikir keras. “Iya-iya, masuk, tapi apakah metodemu kepada Fairus berhasil?” tanyanya pada Lendi.

Fairus mengangguk. “Ya, sejauh ini cukup berhasil.”

“Hanya dengan fokus saja, hantu-hantu yang kau lihat, menghilang?”

“Ya, menghilang. Tapi, ada kalanya juga tidak.”

“Mencoba mengobati indigo dengan berpikir fokus, masuk akal juga sih, tapi ….”

“Tapi apa?” tanya Lendi.

“Tapi apakah memang hantu yang kita lihat selama ini itu hanya pikiran kita sendiri?”

“Ya.”

Iqbal memeluk lututnya. Pikirannya masih terus-menerus merasa menolak menerima. “Lendi, berarti kalau ada orang ngaku pernah lihat hantu itu bohong?”

“Ya, bohong.”

Iqbal kaget. “Loh Lendi, berarti Gus Taukid yang kemarin ngisi pengajian di kelas kita dan beliau cerita tentang hantu yang pernah dia temui itu bohong?”

“Ya, itu bohong.”

Iqbal melongo atas jawaban Lendi. Fairus pun juga demikan. Bola matanya tidak bergerak. “Len, bentar-bentar, ini kayaknya agak berlebihan kalau menyebut guru kita berbohong. Mana mungkin orang yang punya kejujuran tinggi seperti beliau berbohong.”

“Tidak berbohong menurut beliau, tapi berbohong menurut kita yang paham.”

“Ha,” jawab Iqbal sambil tiduran bangun lagi, tiduran bangun lagi seperti orang stres parah. “Maksudmu ‘gimana sih Len aku jadi bingung.”

Lendi tertawa terbahak-bahak. “Gini loh, sekarang aku minta padamu imajinasikan kuda!” kata Lendi. Lalu, dia menunggu beberapa saat. “Sudah?”

Iqbal mengangguk.

“Kamu sudah membayangkan kuda?”

“Iya, sudah.”

“Aku tanya sekarang, apakah kuda itu ada dalam imajinasimu tadi?”

“Ya.”

“Jujur?”

“Ya, jujur?”

“Nah, di dalam kenyaaat sekarang, saat ini, apakah kuda yang kau bayangkan ada?”

“Tidak.”

“Nah itu yang kumaksud. Orang yang melihat hantu itu juga begitu. Mereka nggak akan bilang kalau mereka berbohong lah wong imajinasi memang selalu jujur.”

Sekarang, Iqbal memijat kepalanya sendiri. “Aku sudah paham Len. Tapi entah kenapa masih aja sukar. Kepalaku jadi pening.”

“Ya, tenang saja, memang begitu. Menurut catatan sejarah, sains memang tidak dapat diterima langsung. Butuh sebuah proses dan pendekatan.”

Fairus masih terdiam. Sebenarnya dia masih tidak dapat menerima pengetahuan lendi seratus persen meskipun toh metode yang dilakukan Lendi kepadanya cukup berhasil. Tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan dalam benaknya. Dia menggeser duduknya untuk menghadap Lendi. “Len,” panggilnya.

“Ya.”

“Hantu itu kan jin sebenarnya. Jin yang menggoda manusia. Kalau kamu bilang bahwa orang yang melihat hantu atau jin itu hanyalah imajinasi mereka, kebohongan mereka, berarti jin nggak ada dong. Bukankah jin dan manusia adalah makhluk Allah? Maaf Len, bukannya aku meragukan pengetahuanmu, aku yakin itu sudah benar. Tapi, ternyata pertanyaan yang baru kutemukan inilah yang membuatku tidak bisa seratus persen meyakinimu.”

Kepala Iqbal yang terasa pening menjadi sembuh seketika saat mendengar pertanyaan itu. “Nah, iya benar. Kalau kamu mengatakan bahwa makhluk itu kebohongan dari imajinasi seseorang, berarti jin nggak ada dong dalam keyakinanmu. Berarti kamu nggak percaya adanya makhluk gaib dong. Kalau kamu nggak percaya makhluk gaib, bukannya kamu juga nggak percaya Alquran? Kalau kamu nggak percaya Alquran, berarti Islammu patut dipertanyakan,” kata Iqbal, blak-blakan.

“Apakah jin itu benar-benar ada atau hanya dongeng semata? Itu kan yang mau kalian tanyakan padaku. Begini, menurutku ada. Aku percaya aku mengimani makhluk Tuhan itu. Setanlah, jinlah, iblislah, malaikatlah, aku percaya.”    

“Katanya hanya imajinasi, ‘gimana sih?” tanya Iqbal.

“Gini, jin ya jin, manusia ya manusia. Alam kita dan mereka beda. Itu yang kita yakini.”

“Loh jin bisa loh ke alam manusia. Kan Nabi Muhammad pernah bertemu dengan jin, terus”–

–“Stop-stop,” sanggah Fairus. “Kita bisa murtad kalau pembicaraanya mengarah ke sana. Lendi, jangan jawab pertanyaan barusan. Tapi, tolong beri kami sebuah kalimat yang mampu membuat kami puas.”

Setelah mereka bertiga terdiam cukup lama, Lendi berkata, “Begini, agama ya agama, sains ya sains, itu keyakinanku.”

Lendi melihat tatapan kedua sahabatnya itu penuh kekosongan. Ketidakmengertian meliputi mereka kedua sahabat mereka. “Begini, menurut kalian, manusia itu dari Nabi Adam, atau manusia purba?”

“Ya Nabi Adam, Len!”

“Berarti kamu nggak percaya kalau manusia berasal dari manusia purba?”

“Ya enggaklah, manusia ya dari Nabi Adam.”

“Tapi, tengkorak manusia purba itu ada dan bukti-bukti itu menjadikan dalil ini tak terbantahkan. Bagaimana kamu menolak keberadaan manusia purba sementara jelas-jelas bukti fisiknya ada?”

“Kalau menurutku ‘gini Len, menurutku manusia tetap berasal dari Nabi Adam. Tapi, kalau manusia purba ya manusia purba, yang artinya bukan nenek moyang kita. Kalau keyakinanku begitu,” ujar Fairus

“Wah, ya tidak sesuai dengan fakta itu. Sudahlah, paling enak biarin agama dan sains berjalan sendiri-sendiri,” kata Lendi.

“Kalau aku Len,” lanjut Fairus, “Menurutku sains dan agama tetap menjadi satu. Kalau dipisahkan kayak membuat iman kita jadi lemah.”

“Fairus, justru itulah iman. Kamu tidak percaya dengan yang tidak ilmiah, tetapi kamu tetap mempercayainya.”

Kopiah yang dipakai Iqbal sudah miring kali ini. Dia seperti bapak-bapak yang baru kalah judi. Dia menatap Fairus dan Lendi dengan tatapan seperti orang depresi. “Aku stres sekarang,” ungkapnya.

***

Lihat selengkapnya