Bilfagil

Faiz el Faza
Chapter #9

Kuburan Trawas

“Lendi, kamu yakin dengan keputusanmu?”

“Ya, Rus, aku yakin.”

“Len, aku tahu kamu tidak percaya takhayul. Tapi, kalau kamu pergi ke kuburan Trawas, itu berlebihan. Kamu tidak tahu seperti apa kuburan itu.”

“Yang pernah legendari dan berkali-kali masuk ke stasiun televisi swasta itu kan? Alah, itu semua hanya setingan. Semua yang ada di televisi itu setingan, Bal.”

“Ya, mungkin beberapa setingan, tapi kalau yang di sini itu bukan. Semua orang yang tinggal di sini, tahu bagaimana keangkeran kuburan itu.”

“Bondowoso yang begitu legendaris saja setingan.”

“Oke-oke, iya wes iya, setingan. Tapi aku tetap melarangmu ke sana.”

“Kamu takut teoriku gagal?”

“Enggak, persetan dengan teorimu sekarang! Persetan dengan sains! Lendi, kalau kamu ke sana, itu berarti kamu memasuki zona luar pesantren. Artinya, kamu melanggar. Kalau kamu ketahuan, kamu bakalan kena sanksi keamanan dan itu bersiko tinggi.”

Lendi menarik napas dalam-dalam. “Ya, kamu benar, tetapi, semua hal punya resiko.”

Pagi ini, Lendi, Fairus, dan Iqbal bercakap-cakap di Lab. Biologi setelah pelajaran biologi selesai. Mereka berdebat mengenai keputusan Lendi menerima tantangan Hasanuddin untuk melakukan uji nyali di Kuburan Trawas yang tersohor ke mana-mana akan ke angkerannya. Desas-desus mengenai Hasanuddin yang menantang Lendi, tersebar ke mana-mana. Semua santri nyaris membicarakan hal itu di sekolah.

“Kalau ingin menonton uji nyali ini, pergi ke area area jatian.” Perkataan itulah yang dibicarakan santri-santri saat sekolah. Menyebar dengan mengalir dari lisan ke lisan.

Dari pagi saat di sekolah, sampai siang saat sudah kembali ke pesantren, Lendi seperti artis pesantren. Dia dibicarakan di mana-mana. Ke mana pun dia pergi, semua pandangan mata nyaris tertuju ke arahnya. Menjadi sorotan bukan membuatnya senang, malah terbebani. Seharian ini, dia lebih banyak diam di kamar.

Dan malam hari pun tiba. Kegiatan santri-santri di asrama Wali Songo I kelihatan norma-normal saja. Sore hari setelah shalat ashar berjamaah, pengajian kitab nahwu dan shorof masih berjalan seperti biasa. Setelah magrib, kegiatan mengaji kitab fiqih juga berjalan normal. Mereka menjalankan pesan dari Hasanuddin dengan baik. Kata Hasanuddin, kalau ingin uji nyali ini berjalan lancar, jangan sampai ada pengurus pesantren yang tahu.    

Setelah Isya, santri-santri mengikuti kegiatan jam belajar dengan tertib. Ada yang belajar pelajaran sekolah, ada pun yang belajar pelajaran diniah. Ketika jam belajar selesai, dan ada waktu tiga puluh menitan untuk jajan dan menyiapkan istirahat malam. Beberapa santri membicarakan Lendi kembali ketika berada di luar asrama, supaya tidak ada pengurus pesantren yang tahu.

Sementara itu, Hasanuddin dan gengnya, sudah sibuk menyiapkan perbekalan dan peralatan malam ini. Mereka berada sudah berada di jatian–sebuah area hutan jati milik pesantren di belakang kawasan tembok kuning belakang di utara asrama Wali Songo. Sambil menyalakan api unggun, mereka menggelar alas tikar. Nyala api yang bergoyang-goyang ditiup angin, menyinari tas-tas besar berwarna hitam.  

Untuk menuju kawasan jatian, mereka tidak lewat kawasan tembok kuning tentunya karena gerbang menuju jatian tertutup gerbang besar yang selalu dikunci dengan rantai dan gembok besar nan kokoh. Jalur rahasia itu disebut “lawang gaib”.

Di area kamar mandi Wali Songo, ada satu kamar mandi yang tidak lagi terpakai karena WC-nya mampet. Kemudian, pet airnya juga sudah tidak bisa lagi dipakai. Kamar mandi itu pun akhirnya tidak dipakai lagi. Pintunya selalu tertutup. Akan tetapi, di dalam kamar mandi terbengkalai itu ada sebuah lubang setinggi hampir satu meter dengan lebar setengah meter. Akses keluar area pesantren itulah yang biasanya dipakai oleh santri-santri di sana untuk melanggar, keluar dari pesantren tanpa izin pengurus. Dari kawasan jatian, para pelanggar bisa pergi menuju jalan raya.

Bel jam tidur akan berbunyi beberapa menit lagi. Lendi berada di kamarnya bersama Fairus dan Iqbal. Dia sedang berada di depan lokernya, seperti sedang mengambil sesuatu. Dia kembali ke tempat Fairus dan Iqbal yang sedang duduk di atas alas tidur. Iqbal melihat Lendi sedang menggengam sesuatu seukuran bungkus rokok. “Apa itu?” tanyanya.

“Kartu remi,” jawab Lendi sambil menyembunyikan sebungkus kartu remi ke dalam bantalnya. “Aku tidak mungkin berdiam tiga jam dan nggak ngapa-ngapain.”        

“Sudah keluar dari area pesantren, bawa remi, wah hukumanmu nanti bakal bertumpuk-tumpuk,” kata Fairus. “Len, kamu benar-benar yakin atas resikonya?”

“Ya, ini semua demi meyakinkan semua anak. Kalau Hasanuddin berhasil kukalahkan, maka seluruh anak di pesantren ini, akan mengakui keberadaanku, menerima kebenaran.”

Lendi mulai merebahkan diri. Fairus dan Iqbal menyusul posisinya. Lendi berada di tengah-tengah antara Fairus dan Iqbal. “Rus,” panggil Iqbal.

“Apa?”

“Kamu mau ikut menonton?”

“Tidak tahu.”

“Jangan,” sanggah Lendi. “Aku tak mau kalian terlibat dalam hal ini. Nanti kalian kena hukum keamanan kalau ketahuan. Tapi, andai tidak ketahuan pun kuharap jangan ikut.”

“Tetapi, sepertinya tidak akan ketahuan,” kata Iqbal.

“Kok bisa gitu?” tanya Fairus.

“Soalnya, ada Hasanuddin di sini. Siapa anak yang berani mengadukan Hasanuddin?”

Lendi tertawa. “Aku kira, geng-gengan itu cuma berlaku di sekolah umum. Ternyata di pesantren juga. Baik itu dunia modern ataupun primitif seperti pesantren, hukum rimba selalu berlaku.”

***

Pukul setengah dua belas malam lebih seperempat.

Rizki mengendap-endap ke kamar Lendi. Dengan sebuah senter kecil, dia menyenteri muka anak-anak di kamar Lendi. Dia menggoyangkan badan Lendi ketika muka lelaki yang dia cari sudah ketemu. Tanpa ada pembicaraan, Lendi keluar dari kamar mengikuti Fairus.

Sementara itu, Iqbal diam-diam ikut terbangun. Dia menepuk-nepuk lengan Fairus. “Rus, Rus!” bisiknya.

Fairus terbangun. Dia melihat Lendi sudah tidak ada. “Lendi sudah berangkat?”

Lihat selengkapnya