Bilfagil

Faiz el Faza
Chapter #10

Mimpi Fairus

Tiga puluh menit lebih sudah berlalu. Para penonton tidak melihat keganjilan apapun. Beberapa dari mereka sampai sudah kelihatan bosan. Mereka hanya melihat seorang Lendi yang sedari tadi memakan kacang kulit, minum kopi, dan bengong.

Dari wajah-wajah penonton, seolah-olah mereka berkata, “Ah biasanya kan ada benda-benda jatuh, benda-benda bergeser sendiri, ataupun peserta uji nyali yang seolah-olah mendengar bunyi sesuatu atau melihat sesuatu.”

Di Kuburan Trawas, Lendi sendiri merasai tidak ada apapun. Dia tidak merasa ada keganjilan-keganjilan. Jikalau ada yang mengganggu, itu hanyalah nyamuk yang berdengung-dengung di antara dua telinganya. Lalu hinggap ke tangannya untuk menikmati darah, kemudian tidak jadi gara-gara dia sudah memakai Autan.

Lendi tak lupa menatap kamera. Sekali-kali, dia melambai-lambaikan tangan ke kamera seolah menyapa. Ketika dia menyapa penonton untuk yang terakhir kali, dia berpikir, “Apa mereka nggak bosan ya?”

Lima puluh menit sudah berlalu. Para penonton sudah mulai terkantuk-kantuk. Beberapa dari mereka menopang dagu dengan mata yang sudah kelihatan berat. Di dalam layar, mereka melihat Lendi yang merogoh bungkus kacang kulit lalu menjungkirnya, menunjukkan kalau isinya sudah habis.

“Lihat-lihat!” pekik Peno saat melihat tiba-tiba, Lendi tampak melihat sesuatu. Dia seperti ketakutan. Hal itu membuat para penonton langsung melihat ke arah layar. Lendi tampak sangat gusar. Dia seolah mencoba mengusir sesuatu.

Hasanuddin kelihatan bangga. “Pasti dia melihat sesuatu!” batinnya.

Lendi tiba-tiba berdiri dengan wajah menunduk. Kemudian dia mondar-mandir dari kiri ke kanan dengan gerakan aneh.

“Apa dia kesurupan?” tanya salah seorang.

Tiba-tiba, Lendi berjalan ke arah kiri dan menghilang.

“Ha, ke mana dia?”

“Hai, kita harus menyusulnya, pasti ada apa-apa!”

Obrolan tentang Lendi langsung menyeruak di antara kerumunan. Tiba-tiba, sesosok wajah muncul di kamera dengan sangat dekat, dengan gerakan sangat pelan. Itu muka Lendi dengan matanya yang melototi ke arah kamera. Hal tersebut membuat para penonton ketakutan. Lendi menghilang lagi kemudian.     

Lendi muncul kembali. Kali ini dia duduk kembali di tempatnya semula dengan posisi membelakangi kamera. Lalu, dengan posisi kayang, dia berjalan mendekati kamera. Para penonton semakin riak berteriak.

Akan tetapi, Lendi kemudian tertawa terbahak-bahak ke arah kamera. Para penonton menjadi bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Hasanuddin yang tadi berwajah bangga, kini tampak sangat kecewa.

“Jancok!” umpat Rizki, “Kita di-prank!”

Lendi tertawa sambil menunjuk-nunjuk ke arah kamera seolah-olah dia tahu raut kekecewaan para penonton. Hasanuddin langsung menyulut rokoknya kembali untuk melampiaskan kekecewaan. Sedotannya dalam dan lama. Asap pekat langsung mengepul menutupi wajahnya.

Selanjutnya, Lendi terlihat mengeluarkan sepaket kartu. Dia mengocok kartu tersebut dalam berbagai trik hingga membuat para penonton terkesima.

“Ohhhh!”

“Ohhhh!”

“Ohhhh!”

Setiap kali Lendi memperagakan trik kartunya, suara-suara anak-anak yang terkagum-kagum bergemuruh seperti ombak. Bahkan, ada yang sampai bertepuk tangan. Sementara itu, Hasanuddin, Peno, Rizki, dan Munir, kelihatan sangat kecewa. Mereka berempat sangat kesal. Bagaimana bisa acara uji nyali yang seharusnya menyeramkan dan mencekam malah menjadi acara sulap kartu yang membuat decak kagum penonton!

Hasanuddin, Peno, Rizki, dan Munir, sama-sama mengepulkan asap rokok. Kopi manis yang mereka minum, sudah terasa hambar rasanya. Iqbal dan Fairus akhirnya tersenyum juga. Walaupun Fairus menontonnya dalam keadaan hidung disumpat kapas dengan bercak darah yang merembes.

Akhirnya, uji nyali selama dua jam pun selesai tepat pada pukul setengah tiga dini hari. Lendi bangkit dari duduk dan mengemasi barang-barangnya. Ketika dia akan mematikan kamera, dia sempat melambaikan tangan ke arah penonton seraya tersenyum.

Begitu layarnya mati, para penonton pun memutuskan untuk pulang. Hasanuddin dan gengnya, masih berada di tempatnya. Salah seorang di antara penonton berkata, “Penonton kecewa!”

Lendi merasa langkahnya terasa berat saat pulang. Dia makin merasa ngos-ngosan. Perjalanan menuju jatian masih cukup jauh. “Kuat Lendi, kuat, sebentar lagi kamu akan sampai,” ucapnya pada diri sendiri.

Akhirnya, Lendi sampai juga di titik kepulangannya, area jatian. Dia melihat Hasanuddin, Peno, Rizki dan Munir, menatapnya dengan pandangan tak suka. Bagi mereka yang kalah, tatapan kekecewaan memang tidak bisa disembunyikan.

***

“Lendi, Lendi,” panggil Fairus pagi ini pada Lendi yang memilih tidur setelah melaksanakan agenda kebersihan pagi.

“Kamu nggak sekolah?” tanya Fairus.

“Enggak, kayaknya aku masuk angin.”

“Oh, iya, aku izinin.”

Fairus pun keluar dari dalam kamar. Dengan duduk di tepi teras, dia memakai sepatu. Saat akan berangkat, dia sempat menoleh ke belakang. Betapa kagetnya dia melihat ada seseorang di dalam kamarnya setinggi tiga meter, berambut hitam panjang menjulur ke bawah hingga menyentuh lantai. Saking tingginya, kepala makhluk tak kasat mata itu sampai menunduk dan menempel di asbes. Wajah makhluk itu berwarna hitam legam dengan taring menjulur yang keluar dari mulutnya. Dan yang paling mengerikan, ada dua tanduk yang tumbuh di atas kepalanya.

“Astagfirullahal azim!” pekiknya dalam hati.

Makhluk itu terus menatapnya hingga membuatnya terdiam. Lama-kelamaan, badannya merasa kaku. Dia masih berada dalam posisi duduk dengan leher yang melintir ke belakang, menatap arah kamar. Dia merasa otot-otot lehernya lumpuh. Dia seperti mengalami sleep paralyze atau tindihan. Padahal, tidak dalam posisi tidur.

PLAKKK!

Satu tepukan mengarah ke pundaknya. Penampakan makhluk itu langsung menghilang. Fairus tersadar.

“Ngapain bengong sendiri?” kata Iqbal, “Ayo berangkat!”

“Iya.”

Fairus mengikuti Iqbal berangkat menuju sekolah. Dia merasa ada yang tak beres dengan hari ini. Baru kali ini dia melihat makhluk semengerikan itu.

Di sekolah, ketika pelajaran sedang berlangsung, dia masih kepikiran akan makhluk yang berada di dalam kamarnya ketika Lendi masih tertidur. Memikirkan akan makhluk itu, membuatnya tidak fokus dalam mata pelajaran yang sedang berlangsung. Dia merasa mengantuk. Ketika kepalanya dia taruh di atas meja, tiba-tiba dia terlelap.

***

Dia terbangun kemudian. Dia tidak tahu sudah berapa lama dia tertidur. Yang dia lihat, situasi di dalam kelasnya sudah cukup gelap. Dia sendirian. Mengetahui tidak ada siapapun di kelasnya, dia kebingungan. Dia keluar dari dalam kelas dan mendapati langit sudah mulai gelap. Surup. Tetapi, dia belum mendapati ada suara qiroaah sebelum magrib seperti biasanya.

“Kenapa nggak ada yang bangunin aku?” keluhnya dalam dada.

Dia berjalan menyusuri lorong sekolah untuk menuju lantai satu karena kelasnya berada di lantai dua. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Dia merasa ada sesuatu yang berdiri di belakangnya. Jikalau dia langsung menoleh saat itu juga, dia akan mendapati ada sesosok perempuan bergaun merah dengan rambut panjang yang berdiri beberapa meter darinya. Dia pun menoleh ke belakang dengan perlahan. Dia dapati tidak ada apapun di belakangnya. Hanya kesunyian.

Dia pun melangkah menuruni tangga. Sesampainya di teras depan kantor TU sekolah, dia berhenti lagi. Di tengah-tengah lapangan sekolah, dia melihat seseorang yang berdiri membelakanginya. Seseorang dengan baju putih berambut panjang. Melihat penampakan itu, nafasnya langsung tersengal-sengal.

“Fairusss!” dengarnya.

Fairus tidak menggubris. Dia tetap melanjutkan perjalanan sambil berusaha membuang pandang pada sosok yang berdiri di tengah lapangan itu. Ketika dia telah melewati sosok tersebut, dia mendengar suara yang menyebut namanya lagi, “Fairusss!”

Dia pura-pura tidak mendengar dengan tetap berjalan menuju gerbang sekolah. Akan tetapi, di pojok gerbang sekolah, ada sesosok putih yang berdiri di sana. Langkahnya menjadi memelan saat melihatnya. Dia berjalan pelan sekali seolah-olah enggan mengganggu sosok pocong dengan kain kafan yang berlumuran tanah itu.

Setelah melewatinya dia langsung berlari keluar menjauhi lokasi sekolah. Dia mendapati keganjilan yang sangat. Seluruh bangunan pesantren tidak ada lampu yang menyala. Seolah-olah pesantren dalam keadaan liburan. Debu-debu dan dedaunan berserakan di mana-mana.

Dia semakin khawatir. Perasannya semakin kalut. Dia melewati mushola Sunan Giri sekarang. Dia melihat ke sekitaran. Hanya kesunyian yang ada. Tidak ada satu pun lampu dari kamar-kamar asrama yang menyala.  

Di mushola tua yang sedang dilewatinya, tampak ada sebatang lilin yang menyala dari dalam. Dia melihat ada seseorang yang sedang sholat. Tetapi, bukan laki-laki melainkan seorang perempuan. Dia melihat bayangan seseorang di dalam secara samar-samar.

“Rus, kamu dikirim ibumu, sekarang ada di dalam,” dengarnya setelah itu. Suara yang baru saja didengarnya itu, sangat mirip dengan suara Iqbal. Tetapi, dia tidak tahu Iqbal ada di mana.  

Antara ragu dan yakin, dia memutuskan untuk menengok ke dalam. Sosok yang dia yakini merupakan ibunya itu sedang dalam posisi duduk tasyahud akhir. Lalu, sosok itu pun salam. Dia tidak sempat melihat wajahnya karena posisinya membelakanginya.

“Buk,” panggilnya.

Lihat selengkapnya