Bilfagil

Faiz el Faza
Chapter #11

Lelaki Tanpa Nama

PLAK! PLAK! PLAK! PLAK!

Lendi teramat terkejut begitu melihat Hasanuddin, Peno, Rizki dan Munir, digampar pipinya oleh pihak keamanan pesantren, Ust. Hadikul. Dia sadar sekarang sebegitu kejamnya pihak keamanan pesantren. Dia sadar mengapa Fairus ngotot melarangnya jangan sampai melakukan pelanggaran di pesantren. Ternyata ini konsekuensinya.

Tetapi, dia beruntung. Begitu Ust. Hadikul menggampar pipi para pelanggar aturan pesantren yang duduk di atas lantai pesakitan, begitu tiba pada gilirannya, ustad beralis tebal itu berhenti, seolah-olah memberinya “kesempatan”.

“Kalian ini, selalu saja bikin onar di pesantren ini. Buat gaduh terus. Nggak capek apa berurusan dengan keamanan, dengan saya!” ujar Ust. Hadikul.

“Dan kamu, Lendi, ini pertama kalinya kamu masuk ke sini. Jika tahu begini, jangan kau ulangi lagi, mengerti!”

Lendi mengangguk.

“Oke, sekarang aku mau menanyai kalian, mengapa kalian melakukan hal itu? Malam-malam begadang di jatian. Ngopi. Bawa benda-benda terlarang. Merekok. Apa alasan kalian?” tanya Ust. Hadikul seraya duduk di kursi.

“Ini semua karena Lendi,” jawab Hasanuddin.

Lendi langsung geram mendengarnya.

“Jelaskan!” pinta Ust. Hadikul.

“Lendi memberi pengaruh jahat pada santri-santri di pesantren ini.”

“Apa itu?”

“Dia melarang kami untuk percaya pada takhayul.”

“Maksudnya?”

“Dia mengatakan kalau kesurupan itu tak ada. Dia juga mengatakan kalau itu hantu itu tak ada.”

Ust. Hadikul menatap ke arah Lendi. “Benar Lendi?”

“Iya,” jawab Lendi.

Lalu, dia menatap ke Hasanuddin lagi. “Lalu, apa masalahnya?”

“Hari ini dia mengatakan hantu itu tak ada, besok-besok dia akan mengatakan kalau ke kuburan, tabur bunga itu klenik.”

“Memang Lendi bilang gitu?”

Hasanuddin geleng-geleng kepala.

“Saya juga punya argumen. Hari ini kamu mengajak para santri untuk pergi ke jatian dan melanggar aturan pesantren. Besok kamu akan mengajak seluruh santri untuk lebih melawan pesantren. Din, jangan mencampurkan antara yang haq dan yang batil. Itu kaidah. Kamu tidak bisa membersihkan najis dengan najis. Oke, pelanggaran kalian ini, termasuk pelanggaran berat karena kalian adalah provokator, yang membuat dua puluh santri ikut terlibat dalam pelanggaran itu. Saya akan menghukum kalian.”

Omongan Ust. Hadikul terhenti begitu ada seorang pengurus pesantren yang masuk. Pengurus tersebut memberikan Ust. Hadikul sesuatu. Setelah pengurus itu keluar, Ust. Hadikul menatap ke arah Lendi. “Lendi,” panggilnya, “Lihat ke mari.”

Lendi mendongak dan melihat Ust. Hadikul telah memegang sebuah bungkus kartu remi miliknya.

“Ini milikmu aku sita. Remi sangat dilarang di pesantren ini. Mau jadi apa kamu? Penjudi? Kalau sampai kamu ketahuan membawa remi lagi, kupastikan kau akan berurusan denganku lagi.”

Lendi menunduk kembali. Mulutnya yang merapat, menunjukkan kekecewaan yang sangat.

“Oke,” lanjut Ust. Hadikul, “Hukuman kalian adalah, kalian malam ini akan kubawa ke Penjara, menginap di sana, dua malam satu hari.”

“Penjara, apa itu?” batin Lendi. “Sel tahanan?”

Rupanya, Penjara yang dimaksud di sini adalah sebuah istilah untuk dua kamar kembar berukuran kecil yang terisolasi dari lingkungan area asrama-asrama di pesantren itu, di mana jarang sekali ada yang melewatinya. Letaknya ada di barat kantor pusat pesantren. Tepatnya, di barat kebun tebu. Di sana ada ada kamar yang berbentuk seperti gubuk. Semua bangunannya, terbuat dari kayu. Kini, Lendi sudah berada di depan Penjara.

“Kalian berlima, bermalam di sana,” kata Ust. Hadikul sambil menunjuk ke kamar sebelah kiri.

“Ustad, kalau berlima sepertinya terlalu sempit, saya di sebelah sana saja,” kata Lendi sambil menunjuk kamar yang berada di kanan.

“Iya tak apa. Kalau begitu, di antara kalian berempat, ada yang menemani Lendi,” ujar Ust. Hadikul.

Tetapi, Hasanuddin dan gengnya, tidak ada yang menjawab.

“Ustad, saya sendirian saja,” kata Lendi.

“Loh, kamu berani?”

“Iya.”

“Ya, kalau begitu kalian masuk. Di dalamnya sudah ada bantal dan alas tanpa selimut. Kalian puasa besok, tanpa sahur. Besok magrib, saya akan mengirimi kalian makanan berbuka.”

***

Dari dalam Penjara, Lendi tampak meringkuk di pojokan. Situasi di dalam ruangannya lembab karena semuanya terbuat dari kayu. Aroma rayap bisa dicium olehnya ada di mana-mana. Dia kedinginan. Dia beristirahat sambil menekuk lutut. Alas yang dia pakai hanyalah alas tikar. Bantal yang dia gunakan hanyalah bantal yang terbuat dari kapuk yang sudah mengeras. Dia tidak bisa tidur. Sementara itu, dia atas jendela, ada sebuah ventilas yang tak terturup, yang menjadi masuknya oksigen, sinar rembulan, sekaligus hawa dingin yang menyengat.

Lendi tiduran dengan posisi miring ke kiri, membelakangi tembok. Dia melamun sambil menatap sinar rembulan yang tercetak persegi panjang oleh ventilasi pada dinding kayu di depannya. Dalam kesendirian, keheningan, kegelapan, cahaya kecil yang masuk melalui celah itu membuatnya rileks, terpesona, dan terbuai.

Saat dia larut dalam perasaannya selama beberapa menit lamanya, tiba-tiba, sinar itu tertutupi oleh sesuai. Lendi langsung terperanjat duduk. Jantungnya berdebar-debar. Dia tahu ada seseorang yang mengintip, tetapi, siapa?

Lihat selengkapnya