“Qola muallif rokhimahullahu ta’ala, wa nafani, wa bi ulumihi, fiddaroini, amin.” Suara Gus Rifkil terdengar dari luar mushola Sunan Giri pagi ini.
Santri-santri di asrama Walisongo, selalu menantikan hari ini, hari Kamis, di mana setelah shalat subuh, diadakan ngaji tafsir Jalalain bersama Gus Rifkil, putra pengasuh Pesantren Salafiah Maja, KH. Ahmad Shidiq. Seluruh santri asrama Walisongo yang berkumpul di mushola Sunan Giri, terlihat sedang memaknai kitab. Demikian pula dengan Fairus yang mendengarkan dengan saksama kitab yang dibaca oleh gurunya, makna jawa pegon yang didektekan oleh gurunya, untuk di tuliskannya di atas kitab kuning yang dibawanya.
Kekhidmatan Fairus dalam mengaji salah satu kitab tafsir Alquran itu tiba-tiba terganggu ketika dia menoleh ke samping kanan, ke arah Lendi. Lendi memang menunduk dengan pandangan mengarah kepada kitab. Namun, Lendi tidak memaknai makna jawa pegon yang didektekan oleh Gus Rifkil. Lendi hanya terdiam. Melamun. Tidak ikut memaknai.
Fairus menyikut pelan Lendi. “Len, nggak nulis?” tanyanya dengan berbisik ketika Lendi menoleh ke arahnya.
“Enggak, susah. Nggak bisa aku maknai kitab seperti ini.”
Fairus kembali melanjutkan aktivitasnya memaknai kitab. Namun, pikirannya kini menjadi terganggu. Kekhidmatan yang sempat dirasakannya tadi, tiba-tiba minggat. Dia teringat akhir-akhir ini, setelah duhur, biasanya Lendi akan belajar cara memakani kitab ala pesantren dengannya atau dengan Iqbal. Tetapi, sekarang tidak pernah lagi. Fairus juga teringat kalau setelah Lendi keluar dari Penjara, setiap habis duhur atau sepulang sekolah, Lendi selalu menghilang entah ke mana.
“Santri-santri,” kata Gus Rifkil setelah sesi memaknai selesai, “Sekarang pembahasan kita sampai pada keterangan di mana Nabiyullah Adam, digoda oleh iblis. Nabi Adam itu salah karena memakan buah khuldi. Tapi, istilah ‘Khuldi’ itu Bahasa setan. Jadi, iblis itu goda Nabi Adam, kamu ingin makan pohon keabadian? Singkat cerita Nabi Adam mencicipi buah itu. Lah, Allah marah. Diusirlah Nabi Adam dari Surga.”
Bagi Fairus, keterangan yang disampaikan oleh Gus Rifkil kali ini cukup seru. Namun, keseruan itu terganggu lagi ketika dia menoleh ke kanan dan mendapati Lendi tampak sedang menaruh selembar kertas di atas kitab Tafsir Jalalain yang terbuka, dengan isi yang tampak seperti rumus matematika atau fisika. Lendi menatap kertas itu dengan penuh konsentrasi.
“Santri-santri, tapi perlu kalian ketahui bahwa sebenarnya Nabi Adam dirayu iblis itu tidak pernah tertarik. Nggak pernah. Tapi akhirnya iblis bilang, wallahi, demi Allah, bahwa saya menyuruh kamu memakan buah Khuldi itu sudah tidak dilarang oleh Allah. Iblis mengatakan wallahi, demi Allah. Nah sumpah yang demi Allah itu bagi Nabi Adam sesuatu yang sakral. Inilah yang menyebabkan Nabi Adam akhirnya makan buah itu. Makanya sebagai anak pesantren yang mengaji tafsir Alquran, jangan sekali-kali menyalahkan kaum hawa, dalam hal ini perempuan. Itu menyebabkan sentiment yang berkepanjangan.”
Seluruh santri tertawa mendengar penuturan Gus Rifkil barusan.
“Sehingga ketika Allah datang menegur,” sambung Gus Rifkil setelah terjeda oleh tetawaan murid-muridnya, “Nabi Adam berkata pada Allah, demi keagunganmu Ya Allah, saya tidak pernah mengira ada hamba-Mu yang mencatut nama-Mu dalam sumpahnya, kemudian dia dusta. Ini modelnya kayak kalian lagi dibohongi teman kalian. Tiba-tiba kalian dibilangin kalau dipanggil Kiai Shidiq, kalian pasti akan langsung menemui Kiai Shidiq, ibaratnya begitu dan kalian nggak akan pernah mengira kalau teman kalian berbohong atas nama Kiai Shidiq. Itulah yang terjadi pada Nabi Adam. Dia nggak pernah mengira ada makhluk yang bersumpah atas nama Allah kemudian dia dusta. Ini menunjukkan bahwasannya Nabi Adam itu maksiatu muadzimin, maksiat orang yang sangat menghormati Allah.”
***
Setelah shalat jamaah dhuhur bubar, santri-santri memiliki waktu yang cukup panjang sepulang sekolah untuk melaksanakan kegiatan apapun. Bisa istirahat, belajar pelajaran sekolah, mutholaah baca kitab, jajan ke kantin, cuci baju, atau tidur siang. Kalau diambil rata-rata, kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh santri-santri selepas jamaah dhuhur selesai ya tidur siang. Selain badan yang lelah karena sekolah, juga untuk mengembalikan tenaga untuk kegiatan pesantren selanjutnya, mulai dari ngaji setelah ashar, setelah magrib, dan jam belajar wajib setelah isya.
Fairus memperhatikan gelagat Lendi yang seolah cepat-cepat pergi meninggalkan kamar seusai mengambil tasnya. Kali ini, dia benar-benar ingin tahu apa yang dilakukan oleh Lendi. Begitu Lendi keluar dari kamar, dia mengejarnya. “Lendi,” panggilnya.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya kemudian.
Lendi tetap berjalan menuruni teras kamar untuk memakai sandalnya. “Aku menemui seseorang,” jawabnya pada Fairus yang masih mengikutinya.
“Seseorang siapa?”
“Namanya?”
“Iya.”
“Tidak penting siapa namanya.” Lendi tampak akan pergi. Lalu dia menoleh ke belakang, kea rah Fairus yang berdiri tak jauh darinya. “Kamu mau ikut? Aku kira kamu harus ikut.”
“Boleh?”
“Boleh.”
Fairus mengikuti Lendi yang berjalan ke bawah, menuruni jalan keluar dari area asrama Wali Songo, ke selatan. Ke arah kantor pusat. Mereka melewati sebuah jalan yang bercabang dua, kalau ke kanan berarti menuju SMA Wali Songo. Kalau ke kiri berarti menuju kantor pusat. Mereka berbelok ke kiri.
“Lendi,” panggil Fairus ketika mereka akan memasuki kawasan kebun tebu.
“Ya?”
“Kita mau ke mana? Menemui siapa?”
“Kita ke kamar Joglo.”
“Kamar Joglo.” Fairus berhenti berjalan. Tatapannya menjadi serius. “Ada siapa di sana? Sebenarnya siapa dia?”
“Dia santri seperti biasa kok. Tapi umurnya sudah dewasa. Jadi, dia di pesantren ini bisa dibilang lagi ngalap berkah.”
Fairus masih terdiam. Dia tak kunjung bergerak. Tiba-tiba kakinya merasa tidak lagi mau melangkah. Seolah-olah, ada suara dihatinya yang menyuruhnya untuk kembali.
“Rus, ayo!” pinta Lendi. “Nggak apa-apa kok, dia baik kok. Setiap siang aku selalu belajar pelajaran sekolah padanya. Dia tahu segalanya. Dia seperti Google.”
Mula-mula, kaki Fairus masih terasa berat ketika melangkah mengikuti Lendi kembali. Tetapi, akhirnya dia tetap melanjutkan perjalanan menuju kamar Joglo. Meskipun begitu, tingkah Fairus sangat kentara kalau dia tampak ketakutan.
“Rus,” panggil Lendi, “Kamu kenapa?”
“Entahlah.”
“Kamu melihat ‘sesuatu’ ya?”