Fairus pernah bermimpi ketika dia bangun di sekolah, seluruh wilayah pesantren menjadi gelap. Di mana-mana, sosok-sosok makhluk halus menampakkan diri. Sekarang, mimpi itu menjadi nyata. Di mana pun dia berada, selalu ada sosok yang menampakkan diri dengan aura kengerian yang tidak bisa dirasakan oleh orang-orang di sekelilingnya. Dan ketika dia berkata pada sahabat terdekatnya, “Lendi, kamu pernah aku ceritai tentang mimpiku kan?”
“Iya, kenapa?”
“Sekarang mimpiku menjadi nyata.”
Fairus bisa menebak apa yang akan dikatakan Lendi. “Rus, itu semua hanya delusimu saja.”
Fairus pernah membatin, “Lendi, kenapa kamu nggak bilang saja kalau aku gila?”
Kini, Fairus tak ada teman bercerita. Dia memikul dan memendam sendiri ketakutan yang dia alami. Kerupekan pikiran dan batinnya, membuat badannya semakin tak keruan. Jari manisnya sudah total tidak bisa digerakkan sama sekali.
Siang ini, tiba-tiba semua anak berlarian setelah selesai shalat duhur. Lendi dan Iqbal yang baru keluar dari mushola, tak tahu apa yang terjadi. Lendi mencegat salah seorang yang berlari dan bertanya, “Ada apa?”
“Munir kesurupan!”
Lendi dan Iqbal langsung saling tatap sejenak sebelum mereka ikut berlari ke lokasi kejadian. Munir kesurupan di kamar mandi. Lagak dan gerakannya seperti anak kecil. Dia menatap semua anak dalam kerumunan dengan malu-malu.
Lendi dan Iqbal menyerobot kerumunan. Lendi mengambil langkah untuk mendekati Munir. Tatapannya sangat percaya diri. Dia mengambil kaki Munir untuk dipeluntir jempolnya. “Ngapain sih kamu?” tanya Munir.
“Len, apa yang kamu lakukan?” tanya Peno yang ada di lokasi.
“Aku akan melakukan penyembuhan.”
“Penyembuhan bagaimana?” tanya Hasanuddin.
“Lihat saja.” Lendi memutar jempol kaki kiri Munir sampai dia menjerit. Setelah itu, lagak munir yang seperti anak kecil, menghilang. Semua anak tampak terpukau, kecuali Hasanuddin dan Rizki. Peno juga terpukau. Tetapi, dia segera insyaf karena Hasanuddin dan Rizki langsung memelototinya.
Lendi tertawa kecil setelah Munir meninggalkannya begitu saja. Dia menertawakan teman-temannya yang menanya-nanyai Munir dengan pertanyaan seperti, “Kamu lihat penampakan apa tadi?” atau, “Apakah sebelumnya kamu sudah merasakan aura mistis di sini?”
Lendi melihat ke sekitaran. Senyumnya perlahan memudar. Dia baru sadar bahwa Fairus tak ada. Dia juga teringat kalau sepertinya Fairus juga tidak ada di mushola saat kegiatan shalat jamaah duhur tadi. Lantas, ke mana Fairus?
Pertanyaan Lendi terjawab ketika kerumunan mulai pergi.
DAR! … DAR! … DAR!
Suara pintu kamar mandi yang terbuat seng terdengar. Suara pintu yang tergedor-gedor dari dalam itu muncul pada kamar mandi paling pojok, tepat di sebelah kamar mandi yang dijuluki Pintu Rahasia. Semua mata langsung tertuju pada kamar itu.
Lendi dan Hasanuddin maju paling depan. “Siapa di sana?” tanya Hasanuddin.
“Hahahahahahahahahahaha!” Sebuah tawa cekikikan terdengar dari dalam.
Lendi kenal betul suara itu. “Fairus!” pekiknya, “Keluar Rus, keluar!”
“Hahahahahahahahahahaha!”
Lendi maju beberapa langkah mendekati kamar mandi. Dia mendorong pintunya dan terbuka. Dia langsung mundur begitu pintunya terbuka. Semua mata langsung berusaha menengok ke dalam. Mereka semua melihat suatu keganjilan yang sangat. Fairus mandi dengan masih menggunakan baju putih abu-abu yang dia kenakan. Fairus seolah-olah mengira dirinya telanjang. Dia membaluri seluruh bajunya dengan sabun. Setelah itu, dia mengguyur badannya untuk membilas sabun yang berbusa di seluruh badan dan bajunya.
Fairus menoleh ke belakang. Wajahnya ceria. Dia menampakkan senyum ke semua mata yang memperhatikannya. Tetapi, senyuman itu bagi mereka mengerikan. Itu bukan senyum manusia. Itu senyuman iblis!
Fairus keluar dari kamar mandi. Tetesan-tetesan air dari badannya yang basah kuyup menetes deras. Mukanya masih sumringah. Senyum itu masih terpancar ke muka semua anak. Dia berdiri di depan kamar mandi. Hasanuddin mundur ketakutan melihat senyuman mengerikan itu. Hanya Lendi yang tak bergeming di hadapan Fairus.
“Din,” panggil Fairus seraya menoleh ke belakang, “Bantu aku untuk mendudukkan Fairus sejenak!”
Hasanuddin tak menjawab. Selain takut, muka Hasanuddin juga menunjukan kera-raguan. “Sepertinya, ini lain, aku tak berani.”
Lendi mendengus kecewa. “Iqbal, bantu aku.”
Ternyata, Iqbal juga tak kunjung menjawab. Dia hanya terdiam. Lendi mendengus kecewa lagi. Dia menghadap ke belakang ke arah teman-temannya. Dia menatap mereka dengan tatapan meremehkan. Dia seperti akan berkata-kata, tetapi bingung memulainya dari mana.
Tiba-tiba, dia melihat sorot mata mereka, tertuju ke arah belakangnya. Lendi berbalik. Dia cukup terkejut melihat Fairus sudah duduk selonjoran dengan santai. Kedua tangan Fairus menopang ke belakang. Fairus juga menggerak-gerakkan kaki kanannya, seolah-olah memancing Lendi. Pun seolah-olah menantang Lendi.
Wajah Lendi seketika menjadi sebal. Dia segera berjongkok untuk bersiap memelintir jempol kaki Lendi. Dan dipelintirlah jempol kaki kanan Fairus. Tetapi, Fairus tak menjerit sama sekali. Wajah Fairus tak tampak merasakan apapun. Bahkan dia menatap Lendi dengan tatapan meremehkan. Tatapan mata Fairus seolah-olah berkata pada Lendi, “Perihal apa yang kamu lakukan? Itu tak mempan!”