Bilfagil

Faiz el Faza
Chapter #14

Stimulus

“Loh, Lendi kamu tidak sekolah?” tanya Ust. Asror saat mengecek kamar, memastikan semuanya sudah berangkat ke sekolah.

“Lagi nggak enak badan, Ustad. Tadi, surat izinnya sudah aku titipin Iqbal.”

Ust. Asror sempat memperhatikan Fairus yang sedang terlelap. “Ya, nggak apa-apa, hitung-hitung sambil jagain Fairus. Aku mau ngaji Ihya’ di masjid sampai jam Sembilan. Gerbangnya aku kunci ya?”

“Iya Ustad. Sarapannya Iqbal juga sudah aku ambilkan. Nanti kalau dia bangun, akan kusuruh makan.”

Lendi menunggu kepala kamarnya itu mengunci gerbang. Setelah mendengar bunyi rantai terdengar disertai bunyi klik gembok, Lendi menurunkan selimutnya. Dia berjalan keluar menuju ambang pintu. Sejauh matanya memandang, sudah tidak ada siapapun.

Dia buru-buru melangkah menuju lokernya. Dia mengambil sebuah buku dan membukanya. Tampaklah bahwa ada lubang berbentuk kotak di tengah. Di sana ada sebuah jarum suntik berjenis intradermal dan sebuah botol kecil dengan tulisan Diazepam. Sambil membawa sebuah suntikan yang telah dia racik, dia melangkah ke arah Fairus.

Keadaan Fairus berantakan. Berhari-hari Fairus hanya makan dan tidur. Dia sudah tidak pernah mandi. Lendi yang berjongkok di dekatnya, mencium bau badan Fairus yang cukup menjijikan. Tatapan matanya kelihatan sangat iba.

“Rus, Rus!” panggil Lendi.

Fairus membuka matanya pelan-pelan.

“Rus, bangun, kamu belum sarapan,” dengarnya.

Dia merasa seluruh badannya kaku dan lemas. Dia bangkit pelan-pelan. Tatapannya mengawasi ke sekitar.

“Rus, tidak ada apa-apa,” kata Lendi. “Ayo sarapan dulu, semakin perutmu kosong, pikiranmu akan semakin ke mana-mana.”

Fairus mengambil makanan yang disodorkan Lendi. Hari ini hari Selasa. Lauk yang terhidang di piringnya adalah irisan telur dadar–sebenarnya lebih tepat disebut telur tepung karena tidak ada rasa telurnya sama sekali–dengan siraman sambal kuah sambal.

Lendi mulai melihat Fairus menyantap sarapannya. Gerakan Fairus mulai dari menyendok makanan sampai menelan, terlihat sangat lambat. Lendi memaklumi. Dia dengan sabar menemani sahabatnya itu.

Tiba-tiba Fairus menangis sesegukan saat menyantap suapan-suapan terakhirnya. Bulir-bulir air matanya menjatuhi piring.

“Kenapa Rus?” tanya Lendi.

“Alhmadulillah, alhamdulillah,” lirih Fairus.

“Kamu kenapa nangis?”

“Aku bersyukur, masih ada yang memedulikanku. Selama ini, di mana pun aku berada, aku merasa tidak pernah ada.”

Lendi tersenyum. “Untuk itulah kamu harus sembuh, Rus. Kamu harus melawan musuh terkuatmu.”

“Aku tidak bisa,” kata Fairus sambil memejamkan matanya sejenak, “Bilfagil sangat kuat. Dia sangat licik.”

Mimik Muka Lendi penasaran. “Siapa itu Bilfagil?” tanyanya. Akhirnya dia menyadari kekeliruan pertanyaannya. “Oh tidak usah dijawab Rus, itu semua hanyalah khayalanmu. Orang yang sedang dalam masa trance, memang sering mendapatkan teman imajinasi, baik itu jahat ataupun baik. Ingat, itu semua tidak ada. Itu semua hanya delusi.”

Fairus tidak menanggapi. Dia kembali makan. Menghabiskan sisa sarapan yang tinggal beberapa suap lagi. Lendi menopang dagu sambil menatap penat kepada Fairus. Hanya untuk menghabiskan makanan yang sudah tinggal sedikit, perlu menghabiskan waktu bermenit-menit. Akhirnya, Fairus selesai juga.

Fairus minum, sambil mendengarkan pertanyaan dari Lendi, “Rus, kamu masih ingin sembuh?”

“Iya,” jawab Fairus sambil mengelap mulut menggunakan ujung lengan kaos pendeknya.

“Kalau begitu, mulai sekarang jangan jauh dariku.”

Fairus menatap dengan tatapan bingung. Lalu berubah menjadi tanda tanya ketika dia melihat Lendi memperlihatkan kepadanya sebuah jarum suntik siap pakai. “Apa itu?” tanyanya.

“Jarum suntik.”

“Iya aku tahu, tapi untuk apa?”

“Sebuah metode menangani pasien dissociative trance disorder. Kalau kamu lagi trance, kamu akan kusuntik. Jangan takut, ini hanya obat penenang. Maka, dari itulah kamu harus dekat denganku.”

Lendi tahu kalau Fairus masih belum paham secara penuh. “Kamu harus dekat denganku, sebab jika kamu sedang kesurupan, oh maksudku trance, kamu akan langsung bisa kutangani. Kebayang kan gimana respon teman-teman saat tahu kamu aku suntik. Tidak semua orang dapat menerima kebenaran. Dan menjelaskan fakta pada orang bodoh adalah kesia-siaan.”

Fairus kemudian melihat Lendi menatap jarum suntik di tangannya terus-menerus. Lama sekali. “Kenapa?” tanyanya.

“Aku yakin keberhasilannya tinggi,” jawab Lendi. Dia mengangkat kepalanya pelan-pelan dengan sorot mata terarah tajam ke mata Fairus. “Tapi aku belum membuktikannya langsung.”

Bagi Fairus, tatapan Lendi sangat mengerikan. Dia seperti berhadapan dengan ilmuan gila dengan dengan berbagai macam eksperimen yang menjadikannya sebagai kelinci percobaan.

Lihat selengkapnya