1
Wawancara Southwest yang pertama dijadwalkan pada 31 Januari, 1978. Dorothy Turner, seorang psikolog bertubuh kecil ramping dengan pembawaan keibuan, dan sorot wajah pemalu agak takut-takut, menengadah saat Sersan Willis membawa Milligan ke dalam ruang wawancara.
Dia melihat seorang pemuda tampan setinggi 180 cm bercelana terusan biru. Pemuda itu berkumis tebal dan bercambang panjang, tetapi matanya seperti mata anak kecil yang ketakutan. Dia tampak terkejut melihat Dorothy, tetapi saat sudah duduk di kursi di hadapan wanita itu, dia tersenyum, kedua tangannya terlipat di pangkuan.
“Mr. Milligan,” kata Dorothy, “saya Dorothy Turner, dari Southwest Community Mental Health Center. Saya di sini untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepada Anda. Anda sekarang tinggal di mana?”
Dia memandang ke sekeliling. “Di sini.”
“Berapa nomor jaminan sosial Anda?”
Dahinya berkerut sambil berpikir lama sekali. Dia menatap lantai, dinding dari kayu berwarna kekuningan, kaleng tempat puntung rokok di meja. Dia menggerogoti kuku jarinya, lalu meneliti lapisan luar kuku itu.
“Mr. Milligan,” kata Dorothy. “Kalau saya harus menolong Anda, Anda harus bekerja sama. Anda harus menjawab pertanyaan saya, agar saya bisa paham apa yang sedang berlangsung. Sekarang, berapa nomor jaminan sosial Anda?”
Dia mengangkat bahu. “Nggak tahu.”
Dorothy menunduk, membaca catatannya, lalu membacakan sebuah nomor.
Dia menggeleng. “Itu bukan nomorku. itu pasti nomor Billy.”
Dorothy menengadah tajam. “Oke, bukankah Anda Billy?”
“Bukan,” jawabnya. “Bukan aku.”
Dahi Dorothy berkerut. “Sebentar. Kalau Anda bukan Billy, siapa dong?”
“Aku David.”
“Yaaa, di mana Billy?”
“Billy tidur.”
“Tidur di mana?”
Dia menunjuk ke dadanya. “Di sini. Dia sedang tidur.”
Dorothy Turner menghela napas sambil menahan perasaan. Dia mengangguk dengan sabar. “Saya harus bicara dengan Billy.”
“Yaaa, Arthur nggak akan izinkan Anda. Billy lagi tidur. Arthur nggak mau bangunkan dia karena kalau bangun, Billy bakal bunuh diri.”
Dorothy meneliti pemuda itu lama sekali, tidak yakin bagaimana cara melanjutkan. Suara, ekspresi wajah pemuda ini pada saat bicara, mirip anak kecil. “Tunggu sebentar. Saya ingin Anda jelaskan ini kepada saya.”
“Aku nggak bisa. Aku tadi salah. Aku nggak dibolehkan bilang-bilang.”
“Mengapa tidak?”
“Nanti aku bakal dimarahi orang-orang yang lainnya.” suara mirip bocah itu terdengar panik.
“Dan namamu ‘David’?”
Dia mengangguk.
“Siapa saja orang-orang yang lainnya itu?”
“Aku nggak boleh bilang sama kamu.”
Dorothy mengetuk meja dengan lembut. “Baiklah, David, kau harus bilang sama aku tentang semua ini. Supaya aku bisa menolongmu.”
“Aku nggak bisa,” jawabnya. “Mereka bakal marah betul sama aku. nanti aku nggak boleh masuk ke tempat utama lagi.”
“Yah, kau harus bilang. Karena kamu takut sekali, kan?”
“Ya,” jawabnya. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Penting sekali untuk percaya padaku, David. Kau harus memberitahuku supaya aku bisa menolong.”
Dia berpikir keras, lama sekali. Akhirnya, dia mengangkat bahu. “Yah, aku akan bilang, asalkan dengan satu syarat. Kamu harus janji, nggak akan bilang-bilang rahasia ini kepada siapa pun di seluruh dunia. nggak seorang pun. nggak akan. Jangan. Jangan pernah.”
“Ya,” jawab Dorothy. “Aku janji.”
“Seumur hidupmu?”
dia mengangguk.
“Bilang dong, kamu janji.”
“Aku janji.”
“Oke,” katanya. “Aku akan bilang. Aku nggak tahu semuanya. Cuma Arthur yang tahu semuanya. Kayak kamu bilang tadi, aku memang takut karena aku sering nggak tahu apa yang terjadi.”
“Berapa umurmu, David?”
“Delapan tahun, hampir sembilan.”
“Dan kenapa kamu yang datang bicara denganku?”
“Aku malah nggak tahu aku masuk ke tempat utama. Seseorang sudah terluka di penjara, dan aku datang untuk mengambil rasa nyeri itu.”
“Maukah kamu jelaskan itu?”
“Kata Arthur, aku ini penahan rasa sakit. Kalau ada luka, akulah orang yang masuk ke tempat utama dan merasakan nyeri.”
“Itu pasti mengerikan sekali.”
Air matanya tergenang saat dia mengangguk. “Ini nggak adil.”
“Apa sih yang disebut ‘tempat utama’, david?”
“Itu sebutan Arthur. Dia sudah jelaskan kepada kami bagaimana cara kerjanya kalau seorang di antara kami harus keluar. itu adalah tempat luas yang disoroti sinar putih lampu panggung.
Semua orang berdiri di sekelilingnya, menyaksikan, atau tidur di tempat tidur mereka. Dan, siapa pun yang berada di tempat utama berarti sedang berada di dunia luar. Kata Arthur, ‘siapa pun yang berada di tempat utama adalah penguasa kesadaran kita.’”
“Siapa orang-orang yang lain itu?”
“Ada banyak. Aku nggak kenal semua. Ada juga sih yang aku kenal, tapi nggak semua. Aduh.” napasnya tersentak.
“Ada apa?”
“Aku sudah bilang nama Arthur. Sekarang pasti aku bakal dimarahi karena membocorkan rahasia.”
“Nggak apa-apa, David. Aku sudah janji nggak akan bilang-bilang.”
Dia menciut ketakutan di kursinya. “Aku nggak bisa bicara lagi. Aku takut.”
“Oke David. itu cukup buat hari ini. Tapi, besok aku ke sini lagi. Aku mau bicara sedikit lagi sama kamu.”
Di luar penjara Franklin County, Dorothy berhenti sambil merapatkan mantelnya untuk menahan angin yang dingin. Tadinya, dia sudah siap menghadapi seorang penjahat muda yang mungkin berpura-pura gila untuk menghindari tuntutan, tetapi belum pernah dia menyaksikan hal seperti ini.
2
Hari berikutnya, Dorothy Turner memerhatikan sesuatu yang berbeda dalam sorot wajah Milligan saat pemuda itu memasuki ruang wawancara. Dia menghindari kontak mata dengan Dorothy, dan duduk di kursi dengan kedua lutut ditekuk naik, sambil mempermainkan sepatunya. Dorothy bertanya bagaimana perasaannya.
Milligan tidak langsung menjawab. Dia melihat sekeliling, sesekali melempar pandangan ke arah Dorothy, tanpa menunjukkan tanda bahwa dia mengenal wanita itu. lalu, dia menggelengkan kepala. Saat dia bicara, suaranya seperti seorang anak lelaki berlogat cockney (penduduk daerah East End di Kota London, Inggris). “Semuanya kedengaran keras-keras,” katanya. “Anda. Semua bunyi itu. Aku nggak tahu apa yang sedang terjadi.”
“Suaramu kok lucu, David. Apakah itu aksen?”
Dia melirik bandel ke arah Dorothy. “Aku bukan David. Aku Christopher.”
“Yaaa, di mana David?”
“David nakal.”
“Apa maksudmu?”
“Oh, orang-orang yang lain sedang marah sekali sama dia karena dia bilang-bilang sih.”
“Tolong jelaskan itu dong.”
“Aku nggak bisa. Aku nggak mau dimarahi juga kayak David.”
“Yah, mengapa dia dimarahi?”
“Karena dia bilang-bilang.”
“Bilang apa?”
“Anda sudah tahu, kan. Dia membocorkan rahasia.”
“Nah, kalau begitu, tolong ceritakan dong sedikit tentang dirimu sendiri, Christopher. Berapa umurmu?”
“Tiga belas.”
“Dan, kamu senangnya mengerjakan apa?”
“Aku sedikit-sedikit bisa main drum. Tapi aku lebih pintar meniup harmonika.”
“Dan, asalmu dari mana?”
“Inggris.”
“Kamu punya kakak atau adik?”
“Cuma Christene. umurnya tiga tahun.”
Dorothy menatap wajahnya dengan cermat selama Milligan bicara dalam logat cockney yang nyaring. Dia bersikap terbuka, serius, bahagia, begitu berbeda dengan orang yang diajak bicara sehari sebelum itu. Pasti Milligan seorang aktor yang luar biasa pandai.
3
Pada 4 Februari, pada kunjungannya yang ketiga, Dorothy Turner memerhatikan bahwa pembawaan lelaki muda itu, saat berjalan memasuki ruang wawancara, berbeda dengan saat kunjungan pertama maupun kunjungan kedua. Dia duduk santai dan cuek, bersandar di kursi, memandang Dorothy dengan angkuh.
“Apa kabarmu hari ini?” tanya Dorothy, agak takut mendugaduga jawaban pemuda itu.
Dia mengangkat bahu. “Beres.”
“Bisakah kau ceritakan, apa kabar David dan Christopher?”
Dahinya berkerut saat dia melotot galak kepada Dorothy. “Hei, Bu, aku kenal sama kamu saja nggak.”
“Baiklah, saya datang ke sini untuk menolongmu. Kita harus membicarakan apa yang sedang berlangsung.”
“Peduli amat. Aku bahkan nggak tahu apa yang sedang berlangsung.”
“Kau nggak ingat waktu bicara dengan saya dua hari lalu?”
“Persetan, nggak. Aku belum pernah bertemu kamu seumur hidupku.”
“Bisakah kau katakan, siapa namamu?”
“Tommy.”
“‘Tommy’ siapa?”
“Cuma Tommy.”
“Dan umurmu?”
“enam belas.”
“Tolong ceritakan sedikit tentang dirimu.”
“Nyonya, aku nggak pernah ngomong dengan orang yang nggak kukenal. Jadi, jangan ganggu aku.”
Selama Lima belas menit berikutnya, Dorothy berusaha menariknya, tetapi “Tommy” terus cemberut. Ketika keluar dari bangunan penjara Franklin County, Dorothy sejenak berdiri di Front Street, takjub. Dia memikirkan “Christopher” dan janjinya kepada “David” bahwa dia tidak akan membuka rahasia itu. Kini, dia terombang-ambing, di antara janjinya dan kesadaran bahwa para pengacara Milligan harus diberi tahu tentang hal ini. Kemudian, dia menelepon kantor Pembela Publik untuk bicara dengan Judy Stevenson.
“Begini ya,” katanya ketika Stevenson mengangkat telepon, “saya belum bisa benar-benar bicara tentang itu dengan Anda sekarang, tetapi kalau Anda belum pernah membaca buku Sybil, segeralah cari satu dan bacalah.”
Judy Stevenson, terkejut menerima telepon dari Turner, membeli novel Sybil malam itu dan mulai membacanya. Setelah mengerti arah cerita novel itu, dia berbaring di tempat tidur sambil memandangi langit-langit, dan berpikir: Ah, yang benar saja! Kepribadian majemuk? itukah yang sedang dicoba dikatakan Turner kepadanya? dia berusaha membayangkan Milligan, yang gemetar hebat saat line-up; dia ingat saat-saat lain, Milligan banyak bicara dan lihai, bertukar lelucon, cerdik. Selama ini, dia selalu menganggap semua perubahan perilaku Milligan disebabkan oleh depresi. lalu, dia ingat cerita Sersan Willis tentang tokoh licin yang mampu melepaskan diri dari strait jacket mana pun, serta komentar petugas medik russ hill, tentang kekuatan luar biasa yang terkadang ditunjukkan Milligan. Kata-kata Milligan bergema di benaknya: “Aku nggak ingat hal-hal yang kata mereka sudah kuperbuat. Aku nggak tahu apa-apa.”
Dia hendak membangunkan Al, suaminya, dan bicara kepadanya tentang hal ini. Tetapi, dia tahu apa yang akan dikatakan Al nanti. Dia tahu apa kata semua orang lain nanti, kalau dia mencoba bercerita kepada mereka apa yang dia pikirkan. Selama lebih dari tiga tahun bekerja di kantor pembela publik, dia belum pernah bertemu orang seperti Milligan. Dia juga memutuskan untuk tidak berkata apa-apa dulu kepada Gary. Dia harus lebih dahulu memastikan hal itu, sendiri.
Esok paginya, dia menelepon Dorothy Turner. “Begini,” katanya, “milligan yang kutemui dan kuajak bicara selama beberapa minggu terakhir ini bertingkah aneh kadang-kadang. Suasana hatinya berubah-ubah. Dia itu temperamental. Tapi, aku belum melihat perbedaan-perbedaan besar, yang bisa membuatku menyimpulkan bahwa ini seperti kasus Sybil.”
“Ini sesuatu yang sudah kupikirkan terus selama berharihari,” kata Turner. “Aku sudah berjanji untuk tidak mengatakan ini kepada siapa pun. Aku tetap berpegang pada janji itu. Aku cuma meminta agar Anda membaca buku itu. Tapi, aku akan mencoba meyakinkan dia, agar aku boleh menyampaikan rahasia ini kepada Anda.”
Judy berusaha agar tetap ingat bahwa Dorothy adalah psikolog dari Southwest—yang berpihak pada penuntut—lalu berkata, “Anda yang memimpin. Beri tahu aku, apa yang harus kulakukan.”
Ketika Dorothy Turner datang lagi menjenguk Milligan untuk keempat kali, dia berjumpa dengan anak lelaki kecil yang pada hari pertama menyebut diri David.
“Aku tahu bahwa aku sudah berjanji untuk tidak membuka rahasia ini,” katanya, “tapi aku harus bercerita kepada Judy stevenson.”
“Jangan!” teriaknya sambil terlonjak berdiri. “Kamu sudah janji! Miss Judy bakal nggak suka lagi sama aku kalau kamu bilang sama dia.”
“Dia bakal senang sama kamu. Dia pengacaramu, dan dia harus tahu agar dia bisa menolongmu.”
“Kamu sudah janji. Kalau kamu ingkar janji, itu seperti berbohong. Kamu nggak boleh bilang. Aku dimarahi. Arthur dan Ragen marah sama aku karena membocorkan rahasia ini,
dan—”
“Siapa ‘Ragen’?”
“Kamu sudah janji. Dan janji itu yang paling penting di dunia.”
“Apa kamu nggak ngerti, David? Kalau aku nggak bilang sama Judy, dia nggak akan bisa menyelamatkan kamu. Mungkin kamu bakal dipenjara lama sekali.”
“Aku nggak peduli. Kamu sudah janji.”
“Tapi …”
Tampak matanya menjadi keras dan hampa. Mulutnya mulai berkomat-kamit, seakan bicara dengan diri sendiri. lalu dia duduk tegak, merapatkan ujung jemari kedua tangannya, dan menatap marah kepada Dorothy.
“Bu, Anda tidak berhak,” katanya dengan aksen Inggris kelas atas yang jelas, rahangnya hampir tak bergerak, “untuk melanggar janji Anda kepada anak itu.”
“Kurasa kita belum pernah bertemu,” kata Dorothy, mencengkeram lengan kursi untuk menyembunyikan rasa kaget.
“Dia sudah bilang kepada Anda tentang aku.”
“Anda ‘Arthur’?”
Dia mengangguk singkat.
Dorothy menarik napas dalam-dalam. “Nah, sekarang, Arthur, penting sekali saya memberi tahu para pengacara tentang apa yang tengah berlangsung.”
“Tidak,” katanya. “Mereka tidak akan percaya kepada Anda.”
“Mengapa tidak kita lihat dulu? saya ajak saja Judy Stevenson ke sini untuk bertemu denganmu, lalu—”
“Tidak.”
“Ini bisa menyelamatkanmu dari penjara. Saya harus membiarkan—”
Arthur mencondong maju sambil memandang Dorothy dengan tatapan merendahkan. “Kuberitahukan ini kepada Anda, Miss Turner. Kalau Anda mengajak orang lain kemari, orang-orang yang lainnya itu akan bungkam. Dan Anda akan terlihat tolol.”
Setelah Lima belas menit beradu pendapat dengan Arthur, Dorothy memerhatikan bahwa matanya menjadi keras dan hampa. lelaki itu kembali bersandar di kursinya. Saat tubuhnya mencondong maju, suaranya berbeda, sikapnya santai dan bersahabat.
“Anda tidak boleh bilang,” katanya. “Anda sudah berjanji, dan janji itu suci.”
“Sekarang aku bicara dengan siapa?” bisik Dorothy.
“Allen. Akulah orang yang paling sering bicara dengan Judy dan Gary.”
“Tapi, mereka cuma tahu Billy Milligan.”
“Kami semua menjawab kalau dipanggil dengan nama Billy, agar rahasia tidak bocor. Tapi, Billy sedang tidur. Dia sudah tidur lama sekali. Sekarang, Ny. Turner—Anda tidak berkeberatan kupanggil Dorothy? nama ibu Billy juga Dorothy.”
“Kau bilang bahwa engkau-lah yang paling sering bicara dengan Judy dan Gary. Siapa lagi orang yang pernah dijumpai keduanya?”
“Yaaa, mereka tidak tahu karena Tommy terdengar amat mirip denganku. Anda sudah bertemu dengan Tommy. Dialah orang yang tidak bisa dikekang dengan strait jacket atau borgol. Kami berdua mirip, hanya saja, aku paling banyak melakukan tugas bicara. Dia suka bertingkah sinis atau kurang ajar. Dia tidak terlalu pandai bergaul dengan orang lain. lain dengan aku.”
“Siapa lagi orang pernah mereka jumpai?”
Dia mengangkat bahu. “Orang yang pertama dilihat Gary sewaktu kami ditangkap adalah Danny. Dia ketakutan dan bingung. Dia nggak banyak tahu apa yang sedang terjadi. umurnya baru empat belas.”
“Umurmu berapa?”
“Delapan belas.”
Dorothy menarik napas sambil menggeleng. “Oke … ‘Allen’. Kau tampaknya pemuda yang cerdas. Kau paham bahwa saya harus dibebaskan dari janji saya itu. Judy dan Gary harus diberi tahu apa yang sedang terjadi agar mereka bisa membelamu dengan benar.”
“Arthur dan Ragen tidak setuju,” jawabnya. “Kata mereka, kami nanti akan dianggap gila.”
“Tapi tidak apa-apa kan, kalau dengan begitu kalian tidak dipenjara lagi?”
Dia menggeleng. “Bukan aku yang menentukan. Kami sudah menyimpan rahasia ini seumur hidup kami.”
“Siapa orang yang menentukan?”
“Yaaa, semuanya sih, sebenarnya. Arthur memang pemimpin, tetapi rahasia itu milik kami semua. David memang sudah bilang kepada Anda, tetapi betul-betul tidak boleh lebih dari itu.”
Dorothy berusaha menjelaskan kepadanya bahwa tugasnya sebagai psikolog adalah memberitahukan hal-hal ini kepada pengacaranya. namun, Allen berpendapat, tindakan itu belum tentu akan berguna. lagi pula, dengan semua publisitas dan judul berita utama di koran-koran, hidup di penjara akan semakin mustahil.
David—yang mulai dikenali Dorothy melalui pembawaan seorang anak lelaki kecil—kini keluar dan memohon agar Dorothy menepati janji.
Dorothy meminta diizinkan bicara lagi dengan Arthur. Arthur keluar dengan dahi berkerut. “Anda berkeras terus,” katanya.
Dorothy membujuknya tanpa henti, sampai akhirnya dia merasa bahwa Arthur mulai lelah. “Aku tidak suka berdebat dengan wanita,” katanya. Sambil mendesah, lelaki itu bersandar. “Kalau Anda merasa ini mutlak perlu, dan kalau orang-orang yang lainnya setuju, aku setuju. Tapi, Anda harus mendapat izin dari setiap orang.”
Berjam-jam lamanya Dorothy berdebat dan membujuk, sambil menjelaskan situasi kepada setiap sosok pribadi yang datang —setiap kali terjadi perubahan, Dorothy terus-menerus terkejut dan takjub. Pada hari kelima, dia berhadapan dengan Tommy, yang sedang mengupil: “Jadi, kau menyadari bahwa aku harus bilang ini kepada Miss Judy.”
“Huh, nyonya, peduli amat Anda mau apa. Pokoknya, berhenti ganggu aku.”
Allen berkata, “Berjanjilah, Anda tidak akan bilang kepada siapa pun kecuali Judy. Dan, Anda harus membuat dia berjanji untuk tidak membocorkannya.”
“Setuju,” kata Dorothy. “Dan kalian tidak akan menyesal.”
Sore itu, sepulang dari penjara, dia langsung menuju kantor pembela publik di ujung jalan itu, untuk bicara dengan Judy Stevenson. Dia menjelaskan syarat yang ditetapkan Milligan.
“Maksud Anda, aku nggak boleh bilang ini kepada Gary schweickart?”
“Saya harus berjanji begitu. Sudah untung dia mengizinkan saya menyampaikan ini kepada Anda.”
“Aku nggak begitu percaya,” kata Judy.
Turner mengangguk. “Bagus. Tadinya saya juga tidak percaya. Tapi saya janji, kalau kita berjumpa dengan klien Anda, Anda akan mendapat kejutan.”
4
Ketika Sersan Willis menggiring Milligan memasuki ruang wawancara, Judy Stevenson memerhatikan gerak-gerik kliennya amat menarik diri, seperti remaja pemalu. Dia tampak takut pada si petugas, seakan tidak mengenalnya, dan langsung berlari mendekati meja untuk duduk di samping Dorothy Turner. Dia baru mau bicara setelah Willis pergi. Dia terus-menerus menggosok pergelangan tangannya.
Turner berkata, “tolong ceritakan kepada Judy Stevenson, siapa Anda.”
Dia kembali bersandar lunglai di kursi dan menggelengkan kepala, sambil melihat ke pintu, seolah ingin memastikan bahwa Sersan Willis sudah betul-betul pergi.
“Judy,” akhirnya Turner berkata, “Ini Danny. Aku sudah mulai mengenal dia dengan baik.” “Hai Danny.” Stevenson mencoba menutup-nutupi rasa bingungnya menghadapi sorot wajah dan suara yang berbeda. Dia menengadah menatap Turner dan berbisik, “lihat? dia memandangku seperti menganggap aku ini gila.” “Tidak,” kata Judy. “Cuma, aku bingung. Situasi ini amat tidak biasa. Berapa umurmu, Danny?”
Dia menggosok-gosok pergelangan tangannya, seakan-akan dia baru saja dilepaskan dari ikatan di bagian itu dan sedang berusaha memulihkan aliran darahnya. Tapi, dia tidak menjawab.
“Danny berumur empat belas,” jawab Turner. “Dia seniman yang pandai.”
“Lukisan jenis apa yang biasa kau bikin?” tanya Stevenson.
“Paling banyak lukisan benda tidak bergerak,” jawab Danny.
“Apakah lukisan pemandangan yang ditemukan Polisi di apartemenmu juga hasil karyamu?” “Aku nggak pernah melukis pemandangan. Aku nggak suka tanahnya.”
“Kenapa?”
“Aku nggak boleh bilang. nanti dia akan bunuh aku.”
“Siapa yang akan membunuhmu?” Judy bingung karena ternyata dia kini sedang memeriksa silang si tersangka padahal Judy tidak percaya kepadanya dan sudah bertekad tidak mau teperdaya sandiwara; ternyata, dia terpesona oleh sesuatu yang tampak seperti permainan cemerlang.
Si tahanan memejamkan mata; air mata mengalir di pipinya.
Karena semakin bingung dengan semua yang sedang berlangsung itu, Judy mengamati dengan teliti saat Milligan seakanakan menciut, kembali memasuki diri sendiri. Bibirnya bergerak-gerak tanpa suara, matanya mengeras dan hampa, lalu bola matanya bergeser ke kanan ke kiri. Dia melihat ke sekeliling, terkejut, sampai dia mengenali kedua wanita itu dan menyadari tempat dia berada. Dia memantapkan diri, menyilangkan kaki dan menarik sebatang rokok dari kaus kaki kanannya tanpa memindahkan kotak rokoknya.
“Ada yang punya api?”
Judy menyalakan rokoknya. Dia mengisap dalam-dalam satu kali, mengembuskan asapnya ke atas. “Jadi, ada kabar apa?” tanyanya.
“Maukah kau katakan kepada Judy Stevenson, siapa dirimu?”
Dia mengangguk, sambil meniupkan segumpal asap berbentuk lingkaran. “Aku Allen.”
“Apakah kita sudah pernah bertemu?” tanya Judy, sambil berharap suaranya tidak terdengar gemetar.
“Aku sudah beberapa kali ke sini, sewaktu Anda atau Gary datang untuk membicarakan kasus ini.”
“Tapi, kami selalu bicara denganmu sebagai Billy Milligan.”
Dia mengangkat bahu. “Kami semua menjawab bila nama Billy dipanggil. Jadi, nggak usah repot menjelaskan. Tapi, aku tidak pernah berkata bahwa aku Billy. Kalian yang menganggap begitu. Dan, kupikir, nggak ada gunanya berkata lain kepada kalian.”
“Bisakah aku bicara dengan Billy?” tanya Judy.
“Oh, tidak. Mereka membuat dia tidur terus. Kalau dibiarkan mengambil alih tempat utama, dia bakal bunuh diri.”
“Mengapa?”
“Dia masih takut disakiti. Dan dia nggak tahu apa-apa tentang kami yang lainnya. Dia cuma tahu bahwa dia kehilangan waktu.”
“Apa maksudmu ‘kehilangan waktu’?” tanya Judy.
“Kami semua mengalaminya. Salah seorang dari kami sedang berada di suatu tempat sambil melakukan suatu hal, lalu tahutahu dia sudah pindah ke tempat lain. Dan, dia tahu bahwa waktu yang cukup panjang sudah berlalu, tapi dia tidak tahu
apa yang sudah terjadi.”
Judy menggeleng. “Itu pasti mengerikan sekali.”
“Kami nggak pernah terbiasa dengan hal ini,” kata Allen.
Ketika Sersan Willis datang untuk membawa dia kembali ke sel, Allen menengadah dan tersenyum kepadanya. “Itu Sersan Willis,” katanya kepada kedua wanita itu. “Aku menyukai dia.”
Judy Stevenson meninggalkan penjara Franklin County bersama Turner.
“Sekarang, Anda mengerti mengapa saya menelepon Anda,” kata Dorothy.
Stevenson mendesah. “Waktu datang tadi, aku yakin akan bisa menembus tipuan sandiwara. Tapi sekarang aku percaya, tadi aku sudah bicara dengan dua orang yang berlainan. Sekarang, aku bisa mengerti mengapa kadang-kadang dia berubah-ubah. Tadinya aku mengira itu cuma perubahan mood. Kita harus bercerita kepada Gary.”
“Meminta agar aku dibolehkan mengatakan ini kepadamu saja sudah sulit. Kurasa, Milligan tak akan mengizinkan.”
“Dia harus,” kata Judy. “Aku nggak bisa menanggung beban informasi ini sendiri saja.”
Ketika meninggalkan penjara, Judy Stevenson merasa kacau. Takut, marah, bingung. Semua ini mustahil dilukiskan. Mustahil. Tetapi, jauh di lubuk hati, dia tahu bahwa dia mulai memercayainya.
Kemudian, pada hari yang sama, Gary menelepon Judy di rumah untuk mengabarkan bahwa Milligan telah berusaha bunuh diri lagi dengan cara membenturkan kepala ke dinding sel tahanan.