“Karena gua yakin, teknologi di tangan orang yang tepat bisa membuat kehidupan yang lebih baik bagi orang banyak.” Kalimat penutup yang disambut tepuk tangan meriah oleh para peserta meetup di sebuah aula yang mirip mini colloseum itu. Deretan undakan melengkung setengah lingkaran bertumpuk yang mirip tangga itu, penuh diduduki penggiat digital tech startup.
Meetup berformat sharing dan tanya jawab itu menghadirkan Bima. Seorang software engineer yang sudah malang melintang di dunia pemrograman. Dia menjadi daya pikat sendiri malam itu, selain karena pengalaman dan pengetahuannya, cara berbicaranya yang blak-blakan dengan sarkasme di sana sini berhasil membuat diskusi atau presentasinya lebih menarik. Namun pembawaanya yang keras bukan hal yang dapat diterima di kalangan yang lebih luas.
Sebelum sesi networking di ujung acara berakhir, Bima menyelinap turun ke lobi bawah gedung tempat meetup berlangsung. Keluar dari lift, dia berjalan ke arah resepsionis untuk menukar ID pengunjung dengan SIMnya. Dia menuju sebuah kedai kopi yang terlihat bersiap untuk tutup di dekat pintu keluar gedung. Di mendekati seorang wanita dengan rambut hitam legam yang duduk menghadap laptop. Kedua pria di seberang kursi wanita itu sedari tadi mencuri pandang, hal yang sudah ia maklumi sekarang.
“Yuk.” ajak Bima tergesa-gesa, sembari mengambil cangkir kertas ukuran besar disamping sebuah cangkir yang lebih kecil. Ia yakin itu adalah Americano yang sudah dipesankan wanita tersebut untuknya.
“Wait a sec, hon” wanita itu sekilas memandang dengan memelas dan kembali fokus ke laptop sembari jemari lentiknya tidak berhenti menekan cepat tuts keyboard.
“OK. Sebats dulu ya di depan.”
“OK.”
---