Pagi yang padat diawalinya dengan mengecek kalender. Bima melihat kotak-kotak bertumpuk. Padahal tadi malam sudah dia tolak undangan yang menurutnya tak penting, tapi pagi ini masih ada saja invitation lainnya yang masuk kategori: Skip. Ia sudah tiba di kantornya, Ebazaar sejak pagi tadi saat kantor masih sepi. Ebazaar merupakan unicorn yang sudah menerima beberapa kali pendanaan dan di round terakhir sudah mendapatkan ratusan juta dollar.
Sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi untuk memonitor performa aplikasi Ebazaar baik secara bisnis maupun sistem melalui sebuah performance dashboard. Performance dashboard realtime yang menunjukan angka-angka di dalam beberapa kotak dengan kelap kelip lingkaran kecil di kanan bawahnya, ada yang menunjukkan warna hijau, ada pula warna merah. Untuk kotak dengan lingkaran merah, ia lihat satu per satu detailnya. Untung hari ini hanya ada dua merah dari 16 kotak yang ada. Meskipun begitu, ia sudah bersiap untuk memastikan ia dapat mendapatkan penjelasan mengenai penyebab dan action plannya.
Puku 10, ia berjalan menuju area tanpa kursi untuk melakukan stand up team. Semua orang berdiri di tim masing-masing untuk menjelaskan tugas apa yang akan dilakukan, isu yang menghalangi tugas yang akan dilakukan serta apa yang diperlukan dari anggota tim lainnya. Sebuah papan dengan tiga kolom progress dan tumpukan post-it yang akan dipindah dari satu kolom ke kolom lainnya berdasarkan progress-nya. Bima selalu menyempatkan untuk hadir di stand up salah satu tim setiap pagi. Pagi ini ia memilih tim yang menangani homepage karena di dashboard tadi kotak berisi metrics untuk homepage adalah salah satu yang berwarna merah.
“Jadi kenapa tadi malam CPU usage bisa spike kayak gitu, padahal traffic normal?” tanya Bima setelah sesi stand-up dibuka.
“Kemarin sore ada deployment untuk rekomendasi. Sepertinya querynya berat dan karena personalized jadi gak bisa kita cache untuk semua users.” lead dari tim yang bernama Leo menjawab.
“Lah? Itu kan bukan hal baru. Kita udah punya berapa part yang personalised di homepage. Are you kidding me, guys? Baru kepikiran sekarang?” Bima mulai terlihat tidak sabar
“Sepertinya pengerjaan story kemarin berbeda dengan implementasi kita sebelumnya. Nanti kita review lagi untuk lihat..”
“Siapa yang ngerjain?”
“Saya mas.” seorang engineer mengacungkan tangan.
“Kamu buat postmortemnya seperti biasa, saya mau tau impactnya sore ini. Leo, immediate sama permanent fix-nya gimana?”
“Sekarang kita lagi siapin buat rollback, Bim. Gua bakal code review dan coba optimize query-nya. Ini priority di backlog kita.”
“Besok gua mau liat rekomendasinya bisa naik tanpa spike di usage.”
Stand up dilanjut dengan pembagian tugas lainnya. Tidak lama kemudian tim yang Bima datangi tadi membubarkan diri dan kembali ke meja masing-masing. Bima lanjut menuju ruangan yang berada di ujung lorong, dia melewati ruangan Pattimura, Cut Nyak Dien dan Pangeran Diponegoro. Ruangan-ruangan persegi yang dibatasi tembok di antara ruangan, dengan kaca sebagai pembatas sisa ruangan. Kita bisa melihat siapa saja yang ada di dalam ruangan meeting. Di salah satu ruangan, tampak tertutup tirai putih. Hal yang jarang sekali terjadi. Karena transparansi adalah salah satu value yang mereka agung-agungkan, biasanya semua orang tahu tentang semua hal yang berlangsung di perusahaan.
Semua orang tahu apa isu yang sedang dihadapi oleh tim lain, roadmap yang sedang dikerjakan tim product dan engineering, marketing campaign yang disiapkan tim digital marketing untuk bulan depan dan lainnya. Penggunaan OKR (Objective Key Results) membuat arahan setiap tim baik itu secara vertikal ke manajemen ataupun horizontal ke sesama rekan kerja dapat dilakukan dengan terbuka. Namun, akhir-akhir ini Bima merasa mulai ada pergerakan rahasia, terlebih lagi perusahaan tempatnya bekerja Dhikabarkan akan mendapatkan pendanaan lagi. Ia yakin, pertemuan di ruang dengan tirai tertutup tadi, sedang membicarakan hal tersebut atau setidaknya melibatkan investor.
Tiba di ruangan Kartini di ujung lorong berlantai kayu, ia melihat Manda sudah berada di dalam. Manda merupakan Product Manager dari inisiatif yang akan mereka diskusikan hari ini. Rifa, Product Researcher yang telah melakukan beberapa riset untuk inisiatif ini. Arif, Product Designer yang sepertinya akan di-assign untuk inisiatif ini, dia tidak ada di meeting sebelumnya. Serta orang terakhir yang ia tak harapkan ada di sana Jonathan, duduk di samping kanan Manda sedang berbincang akrab. Jonathan yang sering dipanggil Jo, merupakan lead engineer front-end. Sebagai seorang back-end engineer, Bima seringkali merasa titel engineer tidak cocok disematkan untuk front-end. Karena mereka hanya berkutat di visual tanpa mempedulikan bagaimana tim back-end mempersiapkan sebuah sistem. Ia selalu merasa front-end sebaiknya masuk ke ranah desainer saja. Karena toh tidak memerlukan logika yang berat untuk membuat interaksi scroll yang halus. Entah itu, atau memang pembawaan Jo yang sok cool, ia selalu merasa muak jika berada di sekitar Jo. Apalagi dia yang selalu berusaha mencari perhatian wanita, termasuk Manda. Kekasihnya.
Bima masuk ke dalam ruangan, tanpa berusaha menyembunyikan ketidaksukaannya melihat Jo. Ia duduk di seberang Manda. Satu-satunya kursi kosong di ruangan itu. Manda pun memulai pertemuan itu untuk membahas hasil riset Rifa dan langkah selanjutnya untuk memulai inisiatif “Abandoned Cart” tersebut. Tak tampak keakraban seperti tadi malam di antara Manda dan Bima. Jika bukan karena gosip atau diberitahu orang terdekat mereka, Manda dan Bima tidak nampak seperti sepasang kekasih sama sekali di kantor.
Rifa memaparkan hasil risetnya yang berisi kompetitor analisis, survey serta in-depth interview kepada beberapa orang. Dari hasil riset yang tersebut, ada beberapa insight seperti user yang kesulitan atau memang tidak mengetahui voucher yang mereka miliki atau layak miliki, proses yang panjang sehingga mereka lupa untuk melanjutkan ke tahap pembelian karena keranjang yang sudah penuh dari aktivitas mereka sebelumnya dan kecenderungan user wanita untuk menampung banyak belanjaan di keranjang dibandingkan user pria. Rifa merekomendasikan inisiatif ini untuk berjalan, karena kebutuhan user yang sudah tervalidasi.
Manda kembali menekankan bahwa inisiatif ini bertujuan meningkatkan konversi keranjang belanja menjadi transaksi sukses karena sejak beberapa minggu belakangan ini ada kecenderungan stagnan dan menurun.
Setelah beberapa tanya jawab untuk klarifikasi dan juga beberapa sanggahan. Mereka memutuskan untuk melakukan quick design sprint di awal minggu depan untuk menentukan scope dari rilis MVP (minimum viable product) mereka. Bahasan yang tadi sempat alot dan memakan waktu cukup lama. Hal yang cukup kontroversial mengenai seberapa minimum sebuah fitur harus dirilis ke user. Feedback loop yang cepat dengan effort seminimum mungkin dibandingkan dengan manfaat yang cukup selalu menjadi dua kutub yang harus dipertimbangkan matang-matang.
Dulu Bima tidak habis pikir mengapa animasi sebuah interaksi harus masuk ke dalam sprint. Sampai seorang senior designer membukakan matanya tentang detail kecil mampu membuat user memiliki kesan yang positif terhadap produk digital. Sebuah animasi hati yang membesar lalu pecah, akan meninggalkan lebih banyak kesan yang nyata dibandingkan kode canggih di belakangnya yang membuat app tersebut dapat stabil diakses oleh jutaan orang dalam satu waktu.
Selesai meeting “Abandoned Cart”, ia melihat smartwatch-nya. Setengah jam lagi menuju meeting dengan Finance untuk proyek efisiensi biaya. Waktu yang cukup untuk merokok dan menambah asupan tenaga.