Di kamar dengan nuansa hitam putih, Manda duduk di depan meja rias putih minimalis dengan kaca tinggi ramping menjulang yang ditancapi bola lampu di sekeliling kacanya. Ia terdiam sejenak menatap ke kaca, namun bukan bayangan dirinya yang ia lihat. Ia menatap kosong. Bulir air mata hendak jatuh dari pelupuk matanya, namun bergegas ia seka dengan tisu. Ia menyapukan kuas bedak ke wajahnya ketika Bima masuk. Bima sudah mengenakan pakaian lengkap, kaos hitam polos, celana jeans berwarna biru tua serta sneaker hitam dan sol hitam. Tidak ada yang berbeda dari tampilan kesehariannya. Bahkan mungkin orang bisa saja mengira ia tidak berganti pakaian. Karena seluruh wardrobenya didominasi kaos hitam polos atau hampir polos.
“Yuk, gua gak bisa skip stand up hari ini. Mau bahas post-mortem kemarin. Ngaco banget solusi yang dipropose si Leo. Emang belum pantes sih tuh anak jadi lead. Goblok.” Bima nampak geram.
“Cuddle? Please?” Manda membalikan badannya dengan tetap duduk di kursi rias, lalu membuka kedua tangannya, mengundang sebuah pelukan.
“Manda, kita gak ada waktu.”
“One minute, please?” ibanya. Tidak biasanya Manda manja seperti ini. Manda adalah wanita yang paling independen dan logis yang pernah dikenal Bima. Sebagai lulusan salah satu Ivy League dan pernah menjadi seorang Product Manager di tech company di Silicon Valley, ia bisa saja hidup dengan lebih berkecukupan dan bekerja di tempat yang lebih prestise. Namun ia memilih untuk kembali, karena ajakan temannya yang masuk ke tempat ia bekerja saat ini. “Pulang untuk membangun negeri” merupakan kampanye yang membuatnya dan beberapa orang lainnya pulang kembali ke Indonesia. Ayahnya yang seorang pengusaha sempat keberatan dengan keputusan Manda. Karena bagi ayahnya jika Manda mau kembali sebaiknya ia meneruskan usaha impor barang mewah ayahnya saja dibandingkan bekerja di perusahaan startup yang belum jelas nasibnya. Manda tetap pada pendiriannya untuk keluar dari Silicon Valley dan bergabung untuk memajukan pedagang kecil menengah. Dengan kemampuan persuasi ditambah modal keras kepalanya, ayahnya pun menyerah. Cerita itu pula yang membuat Bima tertarik kepada Manda. Ia suka wanita pintar dengan pendirian yang kuat.
Tetapi pagi itu Manda sang pejuang tidak nampak, justru ia terlihat lemah dan membutuhkan perlindungan. Tekanan dari proyek-proyek untuk bulan Ramadhan memang membuat semua orang seperti berjalan di jembatan tali di atas tebing. Harus selalu siap sedia sangat melelahkan. “It’s gonna be Okay. You’ve done this before and you’re gonna kill it.” hibur Bima yang hanya dijawab dengan pelukan makin erat.
“I love you.” bisik Manda. I’m sorry.
“I love you. Yuk, jalan.” jawab Bima. Mereka berdua bersiap menuju kantor.
---
Sehabis stand up yang alot dan penuh dengan cacian, Bima menuju mejanya. Jajaran meja putih dengan kaki-kaki bening itu rapi dan bersih. Kebijakan untuk bisa menempati meja siapapun kapanpun, membuat para karyawan hanya menaruh sedikit sekali barang pribadi di mejanya. Sehingga meja-meja nampak lebih resik. Dari deretan meja yang berjejer, Bima sering menempati bagian ujung di samping jendela.
Setelah duduk di kursi kantor putih berbantal hijau, ia membuka laptopnya. Ketika ia membuka emailnya muncul popup untuk login. “Anjing.” ujarnya. Ia memasukkan user dan password dari aplikasi pengingat password. Tetapi gagal. Ia lalu membuka Slack untuk menghubungi IT support, namun aplikasi Slacknya tidak dapat dibuka, baik melalui desktop ataupun ponselnya. Sambil merasa kebingungan, ia membuka browser dan mengecek email pribadinya. Tidak ada masalah. Berarti ini bukan masalah internet. Ia melihat kanan kiri namun tidak ada orang yang duduk di dekatnya. Jam-jam seperti ini, kebanyakan orang-orang sedang berada di ruang meeting, di breakout room ataupun di kedai kopi. Sesekali nampak tim yang datang cukup siang. Biasanya karena mereka baru saja menyelesaikan deployment hingga larut malam di hari sebelumnya.
Hendak bergegas menuju IT support, Rika, sekretaris manajemen muncul dan berkata bahwa Pak Ridwan, CTO sekaligus co-founder ingin bertemu dengannya saat itu juga. Bima semakin heran. Pak Ridwan bukan orang yang mengundang bertemu mendadak. Ia adalah orang yang paling terencana dan enerjetik yang ia pernah temui. Perutnya merasa mual. Perasaan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi muncul.
“Tumben Bro, ada apa?” tanya Bima yang baru masuk ke ruangan kecil dengan kaca di depan dan sebelah kiri meja sebagai pembatas ruangan.
Ridwan berjalan dan menutup tirai di kedua sisi ruangan itu tanpa berkata apa-apa, lalu dengan tenang duduk di kursinya menghadap Bima. Bima yang awalnya duduk dengan tenang dan sedikit menyandar kini nampak menegakkan bahunya. Ia yakin pembicaraan ini akan serius.
“Gimana kabar? Udah lama gak ngobrol langsung” meskipun hubungan mereka atasan dan bawahan namun komunikasi yang dibangun memang dibuat seakrab mungkin. Tidak ada sapaan ‘Pak’ yang biasa terdengar.
“Cut the bullshits. Ada apa ini?” jawab Bima tak sabar.
“Lu tau kan kondisi kita saat ini. MAU kita udah tiga bulan ini stuck. Market share kita makin tergerus. Investor udah mulai khawatir.”
“Ya. Tapi MAU kita juga gak turun. Dan bucket loyal user kita justru meningkat. Our quality users stay.”
“Kita masih di fase growth tapi beberapa bulan terakhir traction kita sama sekali gak bagus. Kita ada di posisi bahaya. Gua setuju sama lu, tapi kan gimana pun juga kita masih butuh pendanaan selanjutnya.”
“So?”
“Ada beberapa efisiensi yang harus kita lakukan.”