Bina Ria

Rizky Anna
Chapter #2

Kimcil


"Ria kimcil! Ria kimcil!"

Dua kata itu terus diulang oleh segerombol siswa kelas delapan. Mengiringi langkahku dan Mamak di sepanjang selasar koridor. Sejak semalam, Mamak terus mengoceh karena harus membuang waktunya demi ke sekolah, memenuhi panggilan guru BP atas alasan yang bahkan tidak aku ketahui.

Aku sudah bernegosiasi, jika memang tidak mau, Mamak tidak perlu hadir. Namun, Mamak malah menggampar pipi kiriku hingga aku terjerembab. Panasnya masih terasa sampai sekarang. Dasar anak tak tahu diri, katanya.

"Ria kimcil! Ria kimcil!"

Aku tak tau arti kata yang terus diulangi itu. Apakah maksudnya kecil-imut-centil? Entahlah. Agaknya kata "kimcil" berhasil membikin Mamak makin panas hati. Ia berjalan mendahuluiku, sembari komat-kamit, entah menggumamkan apa. Satu hal yang pasti, orang-orang yang mengataiku "kimcil" kompak tertawa jemawa sambil sesekali menjulurkan lidahnya. Persis seperti anjing.

Sesampainya di depan ruang BP, kami masih harus menunggu. Guru BP yang memegang siswa kelas 7 belum datang, padahal jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat tiga menit. Aneh betul, pikirku. Bukankah guru BP sering menyetrap murid yang datang terlambat? Jika mereka yang terlambat, akankah disetrap juga? Aku hanya mampu bertanya dalam benak.

Sementara itu, di hadapanku, wajah Mamak sudah semerah daging kurban. Matanya juga merah terbelalak. Meskipun usianya masih 29, wajah Mamak tampak sepuluh tahun lebih tua. Menurut Emak—nenekku, Mamak kebrongos karena mengalami masa sulit sejak kecil. Menurutku, Mamak cepat tua karena selalu marah-marah. Seperti sekarang ini, ia sedang bersumpah serapah atas nama guru BP. Ia masih mengalihkan mukanya, seolah memandangiku adalah hal hina.

Akhirnya, tepat pukul tujuh lewat sebelas, guru BP-ku datang dari arah Selatan.

"Eh, Ria, Ibu. Sudah menunggu dari tadi?" Aku hanya tersenyum. Mamak masih memandangi lapangan. "Maaf, ya, dari parkiran saya langsung ke kantin. Sarapan soto. Maaf karena kalian harus menunggu lama. Mari masuk."

Agaknya Bapak Guru BP juga takut pada Mamak. Hebat betul Mamak, hanya diam dan mulut terbungkam, bisa membuat orang lain ketakutan. Di dalam, Pak Guru berdeham beberapa kali, mencoba menghapus kecanggungan di antara kami.

"Ibu, sebelumnya saya ucapkan terima kasih karena Ibu berkenan hadir ke sekolah. Ada hal yang perlu kami bicarakan dengan Ibu dan Ria."

"Langsung saja." Mamak menjawab ketus. Pak Guru gelagapan.

"Beberapa hari ini, sekolah dihebohkan dengan desas-desus bahwa Ria ... Ehm ... Anu ...."

Mamak melipat kedua tangan di depan dada, tanda ia sudah tidak sabar. Beberapa guru BP yang duduk di kursi masing-masing, sampai menjeda aktivitas mereka demi mencuri dengar percakapan kami. Aku khusyuk menunggu kelanjutan kalimat Pak Guru, penasaran dengan penyebab pipiku digampar karena Mamak dipanggil ke sekolah. Lama-lama aku muak juga. Sikap Pak Guru yang demikian justru makin mendidihkan darah di kepala Mamak. Dan itu bukan pertanda baik.

"Katakan saja, Pak. Saya masih banyak urusan."

"Ya, maafkan saya, Bu. Terus terang saya tidak tega untuk mengatakannya." Pak Guru berdeham lagi. Mungkin tadi lupa minum selepas sarapan soto, atau mungkin terlalu banyak makan gorengan hingga tenggorokannya kering kerontang. "Ada gosip beredar bahwa Ria telah diperkosa oleh X, siswa kelas 9."

Lihat selengkapnya