Bina Ria

Rizky Anna
Chapter #3

Binasa


"Dasar anak enggak tahu diri! Bodoh. Entgak berguna. Sudah dibesarkan susah payah, malah berbuat seperti itu. Mau jadi apa kamu?" teriak Mamak yang berjalan mendahuluiku.

"Percuma aku kerja keras, kehilangan masa mudaku, demi membesarkanmu. Tapi apa balasannya? Kamu malah mempermalukanku!" Mamak terus mengoceh. Tak peduli tubuhku sudah basah kuyup didera air mata dan keringat dingin.

Aku duduk di teras, menunggu Bapak pulang. Tanganku bergetar hebat, terlalu lemas hingga tak sanggup membuka ikatan tali sepatu. Emak pergi entah ke mana, mungkin mengaji di musala, mungkin sedang menggantikan pekerjaan Mamak—mengantar makan siang untuk Bapak di sawah. Aku bersandar ke tiang kayu yang sudah lapuk.

"Dasar bodoh. Kenapa malah bengong di sini, hah?" Kurasakan perih ketika rambutku ditarik ke belakang. Tarikan yang begitu kencangnya hingga aku jatuh terjengkang. Tarikan yang semakin ganas setiap kali aku meringis kesakitan.

Sumpah serapah itu terus berlanjut. Semakin aku menangis, semakin ia meledak-ledak, tapi aku tak bisa menahan tangisku. Aku hanya bisa meredam suaranya, tetapi tetap saja ia bisa mendengar. Aku tak pernah membantah, apalagi memberontak. Namun, diamku justru menjadi tanda bahwa aku selalu siap sedia menjadi samsak kapan saja. Diamku berarti kebebasan untuknya. Bebas untuk mencaci, memukul, mencabik-cabik kepercayaan yang telah susah payah kubangun.

Mamak membanting rambut dan kepalaku ke udara, lalu lenyap ditelan kain gorden bermotif angsa. Membiarkan aku terkapar bersama pedih yang tak berkesudahan, meringkuk sesenggukan. Aku benar-benar mengharapkan Bapak atau Nenek pulang sekarang juga. Alih-alih mereka, yang terdengar malah suara langkah dari dalam rumah. Bedebam bedebum penuh amarah. Aku mengeratkan peluk pada lutut, seolah tahu bahwa aku harus melindungi diri.

Benar saja. Tak perlu waktu lama, ia menarik lenganku. Tenaganya yang lebih besar tentu saja begitu mudah mengangkut tubuhku yang ringkih. Aku masih belum berani melihat wajahnya, tetapi mataku menangkap golok di tangan kirinya. Golok yang Bapak simpan untuk menyembelih ayam setiap lebaran. Golok yang Bapak pakai saat jadi panitia kurban. Golok hitam anyir, yang dari visualnya saja sudah dapat dipastikan: sekali tebas, habis sudah.

Ia mengayunkan golok ke atas. Begitu yakin, begitu mantap. Kali ini mataku terbuka, membelalak sempurna. Masih tak percaya. Benarkah wanita di depanku ini ibuku? Adakah hati seorang ibu yang tega menghabisi anaknya sendiri? Bak adegan di sinetron, golok berayun pelan nan menegangkan. Bak tokoh sinetron tolol—dan menurut Mamak, aku memang tolol—aku malah diam mematung menyaksikan perpindahan gerakan golok di hadapanku, derajat demi derajat. Saat mata goloknya tepat dua senti di depan mata, barulah aku mencapai kesadaran penuh.

"Ah.... Mamak...."

*

Lihat selengkapnya