Bina Ria

Rizky Anna
Chapter #4

Gigil

Saat kecil aku selalu bertanya-tanya, mengapa ibuku jauh lebih tua dari ayahku? Tidak seperti teman-teman sepermainan yang ibunya masih muda, ramping menggoda. Bahkan orang tua Arman yang sudah tua, ibunya tetap tampak lebih muda. Hanya ibuku yang sudah berkerut layu. Namun, Bapak tetap sayang. Bapak selalu melahap masakannya hingga tandas tak bersisa. Bapak tak pernah absen membelikan jarik untuknya tiap kali masa panen.

Pada ulang tahunku yang kesebelas, seorang wanita gemuk datang mengetuk pintu. Bapak yang hari ini tumben tidak kembali ke sawah setelah lohor, buru-buru membukakan pintu. Bapak mematung beberapa saat. Dari belakang, kulihat badannya menahan gemetar. Bapak dan wanita itu saling bertatapan. Keheningan menyelimuti keduanya, tanpa peluk dan kata-kata.

"Siapa, Pak?"

Bapak menoleh, tampaknya sudah kembali pada kesadaran. Wanita itu juga menoleh kepadaku.

"Ria?" tanyanya kepada Bapak, yang dibalas dengan anggukan kecil. Wanita itu masuk melewati Bapak, berjongkok di hadapanku dan membelai masing-masing pipi yang tertutup poni. "Sudah besar sekali. Bapak menjagamu dengan baik."

Aku mundur dua langkah ketika ia hendak memeluk, tetapi tanganku tetap maju saat ia menyodorkan sekotak bola-bola cokelat. Kulirik Bapak sekilas, meminta persetujuan makan cokelat dari orang asing. Ia mengangguk, "Ini hadiah ulang tahun terbaik untukmu."

Saat itu, aku mengira sekotak cokelat itulah hadiah yang dimaksud Bapak. Meski isinya hanya delapan, rasanya jauh berbeda dari choyo-choyo dan cokelat payung yang biasa kubeli di warung. Pasti mahal. Pantaslah jika menjadi hadiah terbaik karena Bapak dan Emak pasti tak mampu membelikan.

Namun, ternyata yang dimaksud Bapak sebagai hadiah terbaik adalah kepulangan ibuku. Ibuku?

Malamnya, Bapak tidak mau tidur denganku dan memilih tidur dengan wanita itu. Sebetulnya aku senang-senang saja tidur dengan Emak, tetapi melihat bagaimana Bapak mengusirku dan memilih memeluk wanita itu, tak pelak membuat dadaku sesak. Lantas, demi menghibur sekaligus memangkas kedunguanku, Emak menjelaskan bahwa wanita yang ternyata ibuku itu pergi bekerja ke Arab. Aku tidak tahu di mana Arab, tetapi menurut Emak sangat jauh. Emak juga tak tahu pastinya.

Sedangkan Emak, wanita yang selama ini kukira Ibu, ternyata ibunya ibuku. Mertua Bapak. Nenekku. Pantas saja jarak usia Emak dan Bapak terlalu njomplang.

Lagipula, pantaslah aku mengiranya sebagai ibu, Emak sangat telaten meladeni dan mengasuhku. Saat aku malas makan, ia akan menyuapi dengan tangannya yang kering berkedut. Nasi dan tempe goreng pun akan terasa lezat. Saat aku malas mandi, Emak akan menjarang air. Lalu mengguyurkan air hangat ke atas kepalaku dengan khidmat.

Lihat selengkapnya