Bina Ria

Rizky Anna
Chapter #5

Bandara

Setelah melewati barisan pohon tebu di ujung gang, aku berbelok ke kiri. Sekira lima meter di hadapan, Bapak termenung di atas motor Legenda. Sejenak ia terkejut saat menoleh ke arahku, mungkin memastikan bayangan wanita di depannya bukanlah penampakan penunggu kebun tebu seperti yang diceritakan orang-orang. Ia langsung turun dari motor, membuka badan demi bisa merengkuh tubuh mungilku.

"Bapak tahu kamu enggak akan pergi dengan Mamakmu."

"Bapak sengaja menunggu aku di sini?" Bapak hanya diam. "Bapak memilih pergi agar Mamak bisa tinggal di rumah? Kenapa Bapak enggak bawa apa-apa?" Bapak melepas peluk, lalu menelusuri kedalaman mataku.

Hari sudah gelap. Penerangan di kebun tebu hanya bergantung pada bulan—yang malam ini sedang bersembunyi. Cukup lama Bapak menatapku tanpa jawaban. Saat aku mengeluh kesemutan, barulah Bapak memberi isyarat agar aku naik ke motornya.

Berdua kami melewati alun-alun, ada banyak muda-mudi bergandeng tangan, dan aku baru teringat sekarang Sabtu malam. Dari bundaran, motor Bapak berbelok ke kanan, melewati aneka kedai makanan. Aneka bebauan berebut masuk ke cuping hidungku, membikin cacing-cacing di perut ikut melonjak. Bapak terus melaju melewati terowongan. Di terminal, Bapak berhenti. Lama ia menatap bus-bus antar kota yang berbaris rapi.

"Kamu bawa jaket, Nduk?" Aku mengangguk. "Pakai."

Kuembuskan napas lega ketika Bapak kembali melajukan motor. Kukira Bapak akan meninggalkanku di terminal. Aku masih belum tahu ke mana Bapak akan membawaku pergi. Ke mana pun, aku yakin tempat itu lebih aman untukku tinggal.

"Kita mau ke mana, Pak?" Hening. Tak ada jawaban. Mungkin Bapak tidak dengar. Mungkin telinganya telah terdistraksi oleh kobaran angin malam. Aku memilih diam dan mengeratkan peluk ke punggung Bapak. Dalam benak aku berharap agar bensin motor Bapak tidak habis di tengah jalan.

***

Suara serak Bapak membangunkanku dari lelap. Perlu beberapa kedip sampai aku sadar sedang berada di ruangan asing. Melihat kebingunganku, Bapak berkata kami sedang di rumah Simbah, paklik Bapak.

"Cepetan salat Subuh, mau ikut Bapak enggak?"

Kuregangkan tubuh sesaat, sembari mengerang lega. Entah semalam aku tidur jam berapa, tetapi rasanya baru sebentar. Tubuhku masih pegal-pegal dan sepertinya agak kembung. Bapak juga tampak kurang segar.

Lihat selengkapnya