Bina Ria

Rizky Anna
Chapter #6

Pergi

Setelah pesawat ketiga terbang, Bapak mengajakku pulang. Kami tak lagi jalan kaki. Angkot kuning berhenti tepat di muka. Kepala sopir menyembul dari jendela, berteriak menyerukan nama Bapak, lalu mengangkut kami dengan paksa. Bapak sempat menolak, tetapi sopir menggunakanku demi meyakinkan Bapak.

"Kamu mungkin terbiasa, tapi kasihan anakmu kalau harus jalan jauh. Enggak usah bayar, kayak sama siapa saja."

Bapak melirikku, menimbang sekilas, lalu mambuka pintu depan. Sopir terkekeh ketika memergoki aku yang mengembuskan napas panjang, sesaat setelah mendaratkan badan. Aku sangat lega tidak harus bergumul dengan terik matahari. Apalagi, jalanan mulai padat dilalui kendaraan. Paru-paruku terlalu priyayi untuk dijejali udara ibukota provinsi.

"Bapakmu ini orang yang baik," ujar Pak Sopir.

Aku hanya tersenyum tipis, masih sibuk mengais remahan leker di dasar plastik bening. Bapak yang menimpali, mereka kemudian membahas tentang masa kecil. Tak banyak yang kudengar, karena aku memang tidak mendengarkan. Sesekali saja telingaku mendengar ucapan terima kasih dari mulut Pak Sopir.

Kami berhenti di suatu gang yang diimpit rumah-putih-mewah pada masing-masing tepian. Saat kami sampai, Simbah sedang berdiri di samping rumah. Menabur pakan lele pada sebidang kolam yang seluruh sisinya dari terpal.

"Di meja makan ada nasi kuning. Kalian makan dulu. Ada jambu biji juga, tadi aku petik dari belakang. Tapi harus hati-hati, biasanya ada ulat di tengahnya."

Bapak menyuruhku makan di dalam. Sementara ia, malah berdiri di samping Simbah. Nanti akan menyusul, katanya. Dari dapur, aku melihat gelagat Bapak yang mencurigakan. Sesekali ia melirik ke arahku, seolah sedang memastikan sesuatu. Mereka berdua berbisik, kadang ada sepatah-dua kata yang terdengar, tetapi otak dan telingaku tetap tak mampu mencernanya.

Bapak melirik ke dapur lagi, kali ini mata kami saling berserobok. Dilihatnya piringku yang sudah tandas. "Masih lapar?" Aku mengangguk dan meringis. "Habiskan semuanya, Bapak makan nanti saja, belum terlalu lapar."

***

Setelah makan dan mandi, kami berpamitan dengan Simbah. Sebetulnya, ini kali pertama aku mengenalnya. Malah sebelumnya aku tak pernah tahu Bapak masih punya keluarga. Simbah mirip dengan Bapak, tak banyak bicara, tapi hatinya tulus. Saat dahiku menempel di punggung tangannya yang legam, Simbah mengelus puncak kepalaku dengan tangannya yang lain.

Lihat selengkapnya