Bina Ria

Rizky Anna
Chapter #7

Bintaro

Semuanya terjadi begitu cepat. Pantas saja Bapak tiba-tiba mengajakku jalan-jalan pada pagi buta. Pantas saja Simbah melepasku dengan mata semerah saga. Pantas saja Bapak memelukku erat seolah itu pelukan terakhir kalinya. Semuanya terjadi begitu cepat. Pada usiaku yang bahkan belum genap empat belas, aku sudah harus pergi berkelana di kota orang. Sendirian.

Semuanya terjadi begitu cepat. Aku tertidur di perjalanan dan kehilangan ransel, satu-satunya barang yang kubawa. Beruntung hanya berisi baju-baju kumal karena tiket, alamat, dan uang aku simpan dalam saku celana pendil jeans. Aku hanya melongok ke kolong kursi, nihil, dan tak berniat mencari. Melapor ke sopir pun malas. Baju-baju itu tak ada nilainya jika dibandingkan dengan kehilangan orang yang kusayang, Bapak.

Aku duduk di samping pedagang asongan yang tak henti meneriakkan, "Akua, Neng. Roti juga ada," padahal aku sudah menggeleng. Terminal di sini berbanding terbalik dengan terminal di kabupaten K (tempat tinggalku sebelumnya). Jika di kab. K, terminalnya sempit dan jarang ada orang. Sedangkan di terminal Bintaro yang lebih luas, manusia tetap penuh seolah seisi kota ditugaskan untuk bepergian. Semua berlalu-lalang, berjalan cepat, berjubelan, saling senggol, saling copet, ah.... Melihat kekacauan ini, kepalaku jadi nyut-nyutan.

Tiba-tiba saja ada ular sanca meliuk-liuk di dalam perutku. Mengocok lambung hingga memuncratkan cairan panas ke atas, menerabas kerongkongan dan rongga mulut. Hoek... Hoek... Tak ada waktu untuk ke kamar mandi, atau setidaknya menepi dari kerumun manusia. Hoek... Hoek... Pedagang asongan di sampingku mencerca tanpa ampun. Takku dengar pastinya, dia mengoceh terlalu cepat, kepalaku lebih fokus mengeluarkan semua isi perut.

Cukup banyak cairan kental yang keluar. Tampak sisa nasi kuning dan kulit leker yang krispi di sana. Sekarang, segala kenanganku tentang Bapak sudah sirna. Tertinggal di terminal yang menguarkan aroma pesing dan kesedihan.

Tak ada baju yang dibelikan Bapak secara kredit; tak ada ransel hadiah dari kepala sekolah SD karena nim UN-ku tertinggi se-kabupaten; tak ada leker pisang cokelat Bandara; dan tak ada nasi kuning pertama-dan-terakhir pemberian Simbah. Semuanya sirna, habis tak bersisa. Termasuk kepercayaanku pada keluarga, pada siapa pun. Kepada siapa lagi aku bisa percaya?

Pedagang asongan di sampingku masih mengomel, sembari membereskan dagangannya. Katanya tak akan ada yang beli, jika ia tetap di sini. Beruntung seorang lelaki datang menjemputku, mengaku sebagai anak dari Budhe Mari. Sekejap matanya berpendar ke sekitar, mungkin mencari barang bawaan, tapi ia tak bertanya apa pun, lalu memberiku kode agar mengikutinya ke parkiran. Aku ikut saja. Kalaupun dia berbohong, atau berniat buruk kepadaku, aku pasrah.

Budhe Mari sedang PKK saat aku sampai. Mas Iwan—anak lelakinya yang ditugasi menjemputku tadi—mempersilakan aku masuk, lalu ia pergi lagi. Aku hanya duduk di ruang tamu, lesehan bersandar ke dinding abu-abu penuh debu. Perutku masih mual, tapi sudah tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan.

Lihat selengkapnya