Mas Iwan menghentikan motor tepat di depan rumah tingkat tiga. Putih dan megah, persis seperti deretan rumah di sebelah gang Simbah. Rumah di depanku ini, pada beberapa bagian eksteriornya dilapisi cat emas yang akan mengkilat ketika disembur cahaya matari.
Selumbari, aku bangun terlambat, sehingga tidak sempat ikut Budhe. Sebagai gantinya—sekaligus bentuk terima kasih—aku membersihkan seisi rumah dan mencuci dua ember penuh pakaian Budhe dan Mas Iwan. Beruntung aku tidak mual lagi ketika berhadapan dengan kain apak berbalut jamur.
Esoknya, aku berhasil bangun pagi dan ikut Budhe ke pasar. Sejak pagi hingga siang, aku yang disuruh menjaga kios, sendirian. Rupanya, Budhe mengawasiku dari kios lain. Menurut Budhe, aku terlalu irit bicara. Tidak akan ada pembeli datang, katanya.
"Kalau memang mau beli, pasti akan berhenti tanpa dirayu-rayu," jawabku.
Aku membayangkan betapa tidak menyenangkannya diteriaki banyak pedagang ketika berjalan di selasar pasar yang sempit, becek, dan bau. Budhe menanggapiku dengan pukulan kecil di kepala. Sepintas aku terkejut, tapi tak begitu lama dan tidak berdampak apa-apa, sebab pukulan Mamak lebih-lebih dahsyat lagi.
Malamnya, sebelum tidur, Budhe sempat menawariku bekerja sebagai pembantu. Tawaran itu lama-lama berubah menjadi paksaan. Menurut Budhe, aku lebih cocok menjalankan pekerjaan yang tak perlu banyak omong.
"Lagipula, kemarin hasil beberesmu sempurna. Nyapu, ngepel, mencuci baju segitu banyaknya bisa selesai hanya dalam beberapa jam. Majikanmu pasti senang."
Melihat Budhe yang begitu antusias, aku mengangguk saja. Kalaupun majikanku tidak puas, biarlah aku menjadi pembantu gratisan di rumah Budhe. Maka, di sinilah aku sekarang. Berdiri menatap rumah megah, rumah impianku.
Setelah memastikan rumah sesuai dengan alamat yang tertulis di kertas pemberian Budhe Mari, Mas Iwan berpamitan dan langsung pergi—dia sudah mulai mau berbicara kepadaku. Sialnya, aku tidak tahu cara untuk masuk dan menemui tuan rumah. Cukup lama aku berdiri sembari merapal doa, semoga pemilik rumah lekas keluar.
"Mau cari siapa, Neng?" Seorang ibu-ibu bertubuh gempal menyapaku dari jalan. Kuserahkan kertas dalam genggaman. "Oh, Bu Ambar. Iya benar ini rumahnya."
Ibu-ibu itu maju beberapa langkah dan menekan tombol yang terpatri di tembok gerbang, persis di samping telingaku. Aku lantas berterima kasih sembari tersenyum kikuk, betapa bodohnya aku yang tidak menyadari bel di depan mata.
"Tunggu dulu, paling sebentar lagi keluar. Saya mau belanja dulu, takut Nyonya marah kalau kelamaan. Saya duluan, ya."
Begitu ibu-ibu itu berbelok di pertigaan depan, pintu gerbang dibuka. Tak begitu lebar, hanya cukup untuk dilewati satu orang—itu pun jika tubuhnya ramping. Tampak seorang wanita muda yang cantik dan rapi. Rambutnya cokelat cerah, dengan ujung-ujungnya dibuat ikal. Matanya hitam, elegan seperti seluruh tubuhnya. Mungkin aku sudah menganga saat ini, shock berhadapan dengan bidadari dalam waktu sepagi ini.
"Permisi, Bu, betul ini rumah Bu Ambar?"
"Ya, dengan saya sendiri. Siapa, ya?" Duh, suaranya begitu lembut.
"Perkenalkan, saya Ria. Saya mendapatkan informasi dari bibi saya kalau di sini ada lowongan pembantu."
"Oh iya, memang saya sedang mencari pembantu."