Bina Ria

Rizky Anna
Chapter #9

Rejeki Nomplok


Sore itu, Budhe menyambut kedatanganku dengan kecewa. Aku yang mulanya senang karena bebas dari pekerjaan rumah orang lain, sontak ikut sedih karena kembali menjadi benalu di rumah Budhe Mari. Apalagi Mas Iwan juga tidak terlihat memiliki kesibukan sekolah dan bekerja. Pastilah Budhe bersedih karena harus mencari uang sendiri, demi menghidupi anak dan kemenakannya.

Beruntungnya, kesedihan Budhe tidak berlangsung lama. Dua hari berselang sejak aku dipulangkan paksa pada hari pertama kerja, Budhe kembali meminta Mas Iwan mengantarkanku. Pagi-pagi sekali kami masuk kompleks perumahan elite, penampakannya tak beda jauh dengan gang rumah Bu Ambar. Seperti sebelumnya, mulutku selalu ternganga acapkali berhenti di depan rumah tingkat bercat putih total.

Kali ini, majikanku tak mempersoalkan usia pembokatnya yang masih remaja. Yang penting bisa kerja, begitu jawabnya ketika Budhe menginformasikan sekilas tentangku. Melihat wajah Budhe yang semringah saat mengabarkan lowongan pekerjaan ini, hatiku malah sedikit mendung. Tiga kerutan di ujung mata Budhe saat tersenyum, sama persis dengan Bapak. Bedanya, Bapak hanya tersenyum tipis dan singkat. Tidak heboh seperti Budhe Mari, kakak tertuanya.

Baru beberapa menit aku masuk, tanpa perkenalan dan basa-basi, Nyonya sudah memberiku daftar pekerjaan yang harus diselesaikan. Ia sangat piawai ber-casciscus perihal aturan, larangan, dan pekerjaanku. Aku sedikit kesulitan, sesekali melongo sambil tetap berusaha menyimak. Selanjutnya, Nyonya terlalu percaya diri meninggalkanku sendirian di rumah sebesar ini.

Meski tak ada setitik pun niat mencuri atau perbuatan buruk lainnya, kok ya Nyonya bisa percaya dengan orang asing sepertiku? Tempo hari, Bu Ambar tetap mengawasi pekerjaanku dari jauh. Meski Bu Ambar khidmat memandang layar laptop, aku yakin sesekali matanya menelisik demi memastikan pekerjaanku beres dengan baik.

Namun, apalah dayaku... Sebagai pekerja, akhirnya yang bisa kulakukan hanya menurut dan menyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin. Jangan sampai aku menghancurkan kepercayaan Nyonya. Jangan sampai aku mengecewakan Budhe Mari lagi—apalagi upah yang ditawarkan lebih besar daripada Bu Ambar, bisa lah untuk menambah pemasukan Budhe.

***

Hari itu pekerjaanku berjalan dengan mulus. Nyonya pulang sore, berkeliling seisi rumah, dan tidak melayangkan protes apa pun. Kuanggap itu sebagai bentuk kepuasan—atau setidaknya bentuk penerimaan—atas pekerjaanku.

Aku menyerahkan secarik kertas lusuh kepada majikanku, tepat setelah ia memintaku istirahat. Lalu bertanya, "Maaf, Nyonya, kalau saya mau ke alamat ini, harus naik angkutan dari mana, ya? Apakah Nyonya tahu?"

"Kau akan ada urusan?"

"Oh, tidak. Itu alamat rumah Bibi, saya tinggal di sana. Saya lupa meminta nomor telepon anaknya, jadi tidak bisa meminta dijemput."

"Loh? Sepertinya tadi pagi saya lupa bilang. Kau harus menginap di sini, di dekat dapur ada pintu warna biru, itu kamar untukmu. Kau boleh pulang saat Minggu saja."

"Apakah saya boleh mulai menginap besok saja, Nyonya? Saya belum mengabari Bibi, takutnya dia cemas karena saya tidak pulang-pulang."

"Bibimu sudah tahu, mungkin dia lupa memberitahumu."

Aku hanya mengangguk patuh. Ada baiknya juga aku menginap di sini. Selain lebih layak, aku tidak perlu merepotkan Mas Iwan untuk mengantar-jemputku setiap hari. Toh, kalau aku tidak menginap di sini, aku perlu bangun lebih pagi dan membereskan rumah Budhe dulu. Capainya dua kali. Untung juga aturan dari Nyonya ini.

Saat aku hendak berbalik, Nyonya mengingatkanku untuk membawa kertas lusuh berisi alamat Budhe—kertas pemberian Bapak sebagai bekal ke kota orang sendirian.

Lihat selengkapnya