Bina Ria

Rizky Anna
Chapter #10

Raymond

Nyonya menurunkanku di pertigaan, tak jauh dari rumahnya. Kali ini bukan untuk memulangkan aku secara paksa. Nyonya menyuruhku berbelanja di tukang sayur yang biasa mangkal di sekitar pertigaan, kemudian dengan kebaikan hatinya, Nyonya memberiku tumpangan. Sekalian ia berangkat ke kantor. Padahal jarak rumah Nyonya dengan pertigaan tak lebih dari lima puluh meter.

"Setelah belanja langsung masak, ya. Tolong antarkan makan pagi dan siang ke kamar Raymond juga. Jangan lupa susu cokelat hangat untuk sarapan dan jus jeruk untuk makan siang. Ada jus kemasan di kulkas."

Aku mengangguk dan segera turun dari mobil. Masih merinding membayangkan harus bertemu seonggok tahi dari kamar lelaki, yang ternyata bernama Raymond. Namanya sangat bagus, tetapi tidak dengan tingkah lakunya. Aku sudah bersikukuh untuk lebih berhati-hati, tidak sok-sokan melakukan pekerjaan yang tidak diperintahkan seperti semalam. Yang ada aku kedapatan emas gelondongan lagi.

Di tukang sayur gerobakan yang mangkal di pertigaan, sudah ada beberapa ibu-ibu yang sedang memilih sayuran. Dari penampilannya yang hanya mengenakan daster lusuh, kemungkinan mereka sesama pembantu. Mereka saling berbincang satu sama lain, seolah sudah lama mengenal.

Aku menyapa mereka sebentar, kemudian menyerahkan daftar belanja kepada Abang Sayur. Biarlah dia saja yang memilihkan, sambil mataku mengawasi agar tidak mendapat sayur dan ikan yang kurang segar.

"Ini ikannya mau dibersihkan sekalian, Neng?"

"Oh iya, boleh, Bang." Mataku fokus memperhatikan setiap gerak tangan Abang Sayur, sekalian belajar cara membersihkan sisik dan isi perut ikan dengan benar.

"Irisin perutnya sekalian, Bang. Biar nanti saat dimasak, bumbunya meresap sampai dalam," ucap ibu-ibu di sampingku—selanjutnya mari kita sebut Bu A. Ia beralih menatapku sekilas, lalu menyibukkan pandangan pada jajaran sayur di depan sambil berucap, "Anak orang kaya biasanya enggak ngerti urusan begini."

Mungkin tadi Bu A melihat aku turun dari pintu depan mobil Nyonya tadi. Apalagi sekarang aku juga memakai baju Nyonya, yang meskipun bekas, tetap terlihat bagus dan mahal. Wajar ia mengira aku anaknya, meskipun cara ia menegur tidaklah sopan.

"Terima kasih, Bu. Tapi saya hanya pembantu."

Orang-orang di sana terkejut. Abang Sayur sampai menjeda aktivitasnya selama beberapa detik. Mata mereka lantas menguliti tubuhku dari atas hingga bawah.

"Kamu kayaknya masih kecil banget, kok sudah bekerja?" Aku hanya tersenyum, bingung harus menjawab apa.

Jika bisa memilih, aku juga masih mau sekolah! Kalimat itu hanya kusimpan dalam hati.

"Kamu kerja di rumah Bu Diah, ya?" tanya ibu-ibu lainnya (Bu B), nadanya lebih ramah.

Lihat selengkapnya