Bina Ria

Rizky Anna
Chapter #11

Gaji Pertama

Perkataan Bu B tempo hari mengenai Raymond—ralat, Den Raymond—cukup membuatku kepikiran. Berhari-hari berikutnya, aku tak pernah tidur dengan tenang. Aku selalu dihantui mimpi sedang dihujani tahi-tahi gelondongan, sehingga harus terbangun tengah malam. Paginya pun, aku selalu berdoa agar dibebastugaskan dari job mengantar makanan atau membersihkan kamar Raymond.

Raymond bukan balita, dia lelaki dewasa dan lebih tua dariku. Dia juga bisa beraktivitas dengan normal. Dia bisa bermain komputer, membuka bungkus makanan, berganti pakaian, bahkan marah-marah seperti Mamak. Masa iya, membuang kotoran ke kamar mandi saja tidak bisa? Apa tidak risih? Apa tidak gatal? Apakah hidungnya nyaman dengan kebusukan tubuhnya sendiri?

Namun, sebagaimana perkataan Bu A, aku hanya punya tiga pilihan dan semuanya tidak menguntungkan. Aku ingin pulang ke kampung, tetapi Bapak belum menjemput. Aku ingin berhenti bekerja, tapi uangku sudah habis kuberikan kepada Budhe Mari. Tidak ada ongkos untuk pulang ke rumah Budhe.

Maka, dengan berat hati, aku memilih bertahan. Toh, setidaknya, Nyonya memperlakukanku dengan baik. Meski kadang-kadang cuek dan sering bepergian, Nyonya selalu memastikan aku makan dengan baik.

"Kalau kau sakit, siapa yang membantuku mengurus rumah nanti?" Begitu katanya, tapi kuanggap itu sebagai bentuk perhatian. Ibu kandungku bahkan tak pernah bersikap seperti itu.

Beberapa kali pula aku makan malam bersama dengan Nyonya, satu meja makan. Malah setelah pekan ketiga aku bekerja di sini, sesekali Raymond ikut makan malam di meja. Di ruang makan. Di lantai satu! Kuperhatikan caranya makan, normal. Sepanjang makan, ia selalu diam dan menunduk. Nyonya pun tak berusaha mengajaknya bicara, dan malah lebih senang mengobrol denganku.

Meski masih menemukan tahi di celana, aku bisa melihat setitik demi setitik perubahan baik pada Raymond.

***

Pada suatu sore saat aku sedang menyiapkan makan malam, sopir Nyonya tergopoh-gopoh ke dapur dan mengatakan ada orang yang mencariku.

"Siapa, Pak?"

"Saya tidak tahu, Neng. Coba periksa sendiri saja."

"Tumben ada yang mencari saya," gumamku, sambil menyelesaikan potongan wortel. "Saya selesaikan potong sayur sebentar, Pak."

Lihat selengkapnya