Sekarang telah memasuki bulan ketiga aku bekerja dengan Nyonya. Beberapa kali aku bertemu dengan Bu B saat belanja. Ia selalu menanyakan alasan aku bertahan.
"Saya yang sudah berpengalaman saja tidak betah di sana. Pembantu yang menggantikan saya malah enggak sampai sebulan."
Tanpa Bu B tahu, aku pun berusaha keras untuk beradaptasi. Terlebih lagi, sejak pertengkaranku dengan Budhe sore itu, aku jadi semakin merasa tidak punya tempat pulang sama sekali. Tidak ada yang bisa kulakukan selain bertahan di sini.
"Sekarang dia sudah mulai berubah kok, Bu. Tidak sejorok waktu awal saya datang."
"Oh ya? Kok bisa sih?"
Tak kujawab pertanyaan Bu B, sebab aku pun tak tahu jawabannya. Yang jelas, perubahan kecil yang dilakukan Raymond memberiku harapan baru. Kupikir, kita bisa mendukung perubahan seseorang dengan memberinya lebih banyak kesempatan. Tak perlu memburu-buru atau terlalu banyak menuntut ini-itu.
Beberapa kali Nyonya juga memuji kinerjaku. "Lama-lama kerjamu jadi makin cepat, tidak lambat seperti sebelumnya. Good job, Ria!"
"Masakanmu enak, perlu ditambah lada lagi sih, tapi tetap enak kok. Aku pernah mencoba membuatnya, tapi tidak seenak ini."
"Ria, kata Raymond, dia suka dengan telur dadar buatanmu. Tolong buatkan menu itu setiap pagi untuknya, ya. Karbonya diselang-seling, jangan nasi putih terus."
"Kau yang mencuci mobil kemarin siang, ya? Itu kan bukan tugasmu, biar Pak Sopir saja. Tapi terima kasih, ya, mobilnya jadi lebih bersih dan wangi daripada sebelum-sebelumnya."
Dan apresiasi-apresiasi lain yang sontak membuatku terbang. Tak pernah ada yang menghargai hasil kerjaku sebelumnya. Apalagi di kampung, semua yang kulakukan selalu salah di mata Mamak. Bahkan aku diam saja pun menjadi kesalahan.
Kami, maksudku aku dan Nyonya, juga makin sering mengobrol. Biasanya setelah makan malam. Kadang di meja makan, kadang aku selingi dengan mencuci piring. Lambat laun, Nyonya juga mengajukan pertanyaan personal.
Jika sudah begini, aku memilih diam dan menunduk. Aku belum siap bercerita soal keluarga, juga alasan aku bisa terlunta-lunta di ibu kota padahal masih remaja. Apalagi ketika Nyonya bertanya, "Apakah orang tuamu tidak menyuruhmu sekolah dulu?"
Aku tahu Nyonya orang baik dan tidak bermaksud menyakitiku. Namun, sepertinya duniaku dan dunia Nyonya terlalu jauh, sehingga dijelaskan pun akan percuma. Nyonya tidak akan mengerti.
Beruntungnya, Nyonya tak pernah memaksa. Ia akan mengulang pertanyaan yang sama pada lain kesempatan, dengan lembut dan sopan, tanpa paksa dan tekanan. Ketika aku menunjukkan gelagat tidak nyaman, Nyonya akan menyuruhku menyelesaikan cucian piring dan segera istirahat.
***
Malam ini, dua hari sebelum tanggal gajian, Nyonya mengajakku makan malam di luar. Nyonya telah mengingatkanku sejak pagi, sebelum ia berangkat bekerja, agar aku tidak perlu masak untuk makan malam.
"Raymond juga ikut kok," kata Nyonya.
Ini kemajuan luar biasa. Raymond yang biasanya hanya mendekam dalam kamar, akhirnya pergi ke luar rumah! Padahal, makan malam bersama di meja makan saja dia jarang ikut. Aku turut senang dengan perubahan yang terjadi padanya.
Semoga saja dia ingat untuk berganti celana bersih dan tidak berak di restoran.
Cukup lama aku dan Nyonya menunggu, Raymond tak kunjung turun ke lantai satu. Nyonya sudah berteriak dari bawah, tak ada sahutan. Sebelum diminta, aku berinisiatif naik dan memastikan semuanya baik-baik saja. Ketika pintu kamarnya terbuka, Raymond masih berbalut celana kolor dan kaus rumahan. Duduk di depan komputer. Menatapku dengan tampang datar.
"Maaf, Den, Nyonya sudah menunggu di bawah. Apakah Den Raymond masih lama siap-siapnya?"
"Bilang ke Mami, gue enggak jadi ikut."
"Kenapa, Den?"
Raymond melirik tajam ke arahku, hanya beberapa detik, lalu kembali fokus pada layar tabung di depannya. Isyarat bahwa aku tak boleh terlalu banyak bertanya dan sebaiknya segera pergi saja.
"Maaf, Nyonya, Den Raymond tidak jadi ikut."
"Kenapa?" Aku menggeleng dan mengendikkan bahu. "Ya sudah, ayo kita berangkat."
"Sepertinya saya di rumah saja, Nyonya. Saya perlu masak untuk makan malam Den Raymond."
"Sudahlah, nanti beli di luar sekalian. Dia pasti bisa menunggu. Kalau sudah sama komputernya, sering lupa sama kehidupan."
Aku masih terpaku di depan anak tangga.
"Ayo, kenapa melamun di sana?"