Aku memutuskan untuk melipir ke warung makan yang terletak persis di samping gerbang perumahan. Pikiranku kalut sekarang. Aku tak boleh pulang, juga tak mau. Rumah Budhe tak lagi nyaman untukku. Namun, berada di rumah Nyonya lebih lama lagi, juga bukan pilihan yang tepat.
Meski ujian datang silih berganti, aku yakin, masih ada secercah harapan untuk masa depanku. Cukup Mamak dan Bapak yang mematahkan harapan, aku masih mau merajutnya kembali meski harus berdarah-darah. Aku tak mau menyerahkan hidupku pada Nyonya dan Raymond.
Di warung, aku hanya memesan segelas teh panas tawar. Lalu membiarkannya teronggok begitu saja. Kepalaku masih dipenuhi kejadian tadi malam.
Semalam, kami pulang dari restoran dengan rasa canggung yang menjalari seluruh badan. Pak Sopir yang biasanya melontarkan candaan di perjalanan pun malam ini turut bungkam. Aku dan Nyonya, masing-masing membuang muka ke jendela. Menatap jalanan ibukota yang tak pernah tertidur.
Aku tak langsung menjawab permintaan Nyonya untuk dinikahkan dengan Raymond, empat tahun lagi. Namun, agaknya, Nyonya dapat melihat penolakan dari gelagatku. Pertama-tama, aku masih ingin sekolah lagi, entah kapan dapat kulanjutkan. Tidak ada setitik pun dalam pikiran mengenai pernikahan. Apalagi nikah muda. Apalagi nikah dengan anak majikan.
Kedua, kalaupun di kemudian hari aku berubah pikiran dan tiba-tiba ingin nikah muda, lelaki seperti Raymond akan berada di urutan terakhir dalam daftar lelaki yang akan kujadikan suami. Ya, meskipun belakangan ini dia menunjukkan perubahan baik, tetap saja aku tak ingin menghabiskan sisa usia dengan lelaki yang sehari suntuk hanya bergulat dengan komputer. Mau sampai kapan mengandalkan harta Nyonya sebagai nafkah?
Kami tetap saling diam selama perjalanan. Aku bahkan sudah mempersiapkan diri, seandainya Nyonya kecewa dan memecatku. Setidaknya, aku sudah bekerja hampir tiga bulan, tidak se-menyakitkan dipecat pada hari pertama kerja.
Keheningan itu terhenti ketika Nyonya memintaku menghangatkan makanan ke dalam microwave, dan mengantarkannya ke kamar Raymond. Diucapkannya titah itu dengan nada datar, tanpa melirik ke arahku. Aku mengangguk dan berusaha melaksanakannya secepat mungkin.
Saat aku mengetuk pintu kamar Raymond—sekarang aku sudah piawai memegang penampan dengan satu tangan, sementara tangan yang lain mengetuk pintu—tidak ada sahutan. Namun, samar-samar kudengar suara gaduh di dalam. Seperti ada orang yang sedang bercakap, tetapi tidak jelas artikulasinya.