Bina Ria

Rizky Anna
Chapter #14

Warteg

Sebagaimana yang telah aku jelaskan sebelumnya, aku enggan kembali ke rumah Budhe Mari. Sependek pengalamanku tinggal di rumahnya, Budhe dan Mas Iwan memang memperlakukanku dengan baik. Akan tetapi, dari kata-katanya saat memaksa meminta uang gaji pertamaku, ada sekelumit rasa dongkol yang sulit untuk kuhapus. Setidaknya, aku ingin membersihkan hatiku terlebih dahulu agar kembali ke rumah Budhe dengan lebih lapang.

Namun, aku juga belum cukup berani untuk kembali ke kampung. Uang dari Nyonya memang cukup untuk ongkos pulang, bahkan masih ada sisa yang lumayan banyak. Aku masih belum siap berhadapan dengan monster yang sialnya menjadi ibuku itu. Aku juga tidak mau membikin prahara baru antara Mamak dan Bapak.

"Nduk, kenapa ngalamun? Pamali!" tegur ibu penjaga warteg—tempatku berteduh. "Kamu bukan orang sini? Kok saya baru lihat."

"Saya sempat kerja di PIK, Bu. Baru tadi pagi pamit keluar."

"Kerja?" Ibu itu memindaiku dari ujung kepala hingga dada; bagian bawah tubuhku tertutup meja. "Saya kira kamu masih remaja, ternyata awet muda, ya."

Aku hanya tersenyum tanpa berminat menjelaskan latar belakangku yang terlampau absurd.

"Kamu dipecat sama majikan? Enggak punya ongkos pulang?"

"Oh, enggak kok, Bu. Saya mau cari pekerjaan lain saja. Ibu ada kenalan orang kaya yang butuh pembantu?"

"Kalau kenalan orang kaya yang lagi cari pembantu sih, enggak ada, Nduk. Tapi, kalau mau, kamu bisa kerja di sini."

Kulihat sekitar, hanya ada aku yang duduk di kursi pelanggan. Pelbagai jenis lauk yang terperangkap dalam kaca juga masih menggunung. Lalat pun enggan menyentuh mereka.

"Kenapa?"

Sial, aku terpergok saat sedang mengamati. Jika Emak tahu, pasti aku akan ditegur. Tidak sopan melihat rumah orang sampai mata melotot begitu, katanya. Meski ini bukan rumah, kurasa perilakuku barusan tetap tidak sopan.

"Kamu ragu mau kerja di sini karena sepi?" Seketika aku menoleh, terkejut mendengar ucapan ibu penjaga warteg yang seolah tahu isi kepalaku. "Jangan salah, Nduk. Jam segini memang masih sepi, tapi beberapa jam lagi pasti penuh."

Aku tak mengerti dengan maksud ibu penjaga warteg. Aku juga belum menjawab tawarannya. Jika ternyata warteg ini memang ramai, bukankah artinya aku harus bekerja cekatan agar tidak diprotes pembeli? Bekerja cepat masih menjadi PR-ku hingga sekarang, meski aku tak selambat sebelumnya.

"Yawis kalau kamu masih ragu, pikir-pikir aja dulu. Kalau mau duduk di sini dulu juga enggak apa-apa."

Lihat selengkapnya