Bekerja di warteg, ternyata tak semudah yang terlihat. Jika di rumah majikan aku punya waktu 24 jam, di sini aku hanya punya waktu sepersekian detik untuk melayani pelanggan. Bu Sum tak menuntutku untuk bekerja cepat, tetapi aku cukup tahu diri agar tidak mengecewakan para pembeli.
Pada kondisi yang chaos itu pun, aku berusaha agar tidak gausa-grusu. Mengaduk minuman dengan cepat dan tepat, tanpa setetes pun air muncrat. Membereskan bekas perkakas makan setelah pembeli pergi, lantas selekas mungkin mengelap meja agar pembeli selanjutnya dapat duduk dengan nyaman. Membawa tumpukan gelas dan piring ke belakang, lalu mencucinya secepat kilat tanpa setitik noda yang mengecap.
"Sudah, Nduk, kamu fokus bikin es saja, biar saya yang cuci piring," tutur Bu Sum dengan segenap kerendahan hatinya.
"Saya saja, Bu. Cuma sedikit kok. Bu Sum istirahat saja."
Sebetulnya, selain karena rasa sungkan, keputusanku untuk mencuci piring juga dilatarbelakangi oleh kebutuhan mengatur napas. Pada jam makan siang, ruang depan terasa sangat sesak dan pengap. Melihat orang yang bergerombol di depan mata juga lama-lama membuat kepalaku keliyengan. Maka, aku beralibi mencuci piring demi menyembunyikan pusing dan sedikit mual akibat bau ketiak para kuli bangunan.
Ya, pelanggan warteg Bu Sum didominasi para kuli bangunan yang sedang membangun rumah. Perluasan kluster di perumahan elite tentu membutuhkan banyak pekerja kasar. Bekerja di tengah kota yang berada tepat di bawah matahari, pasti lebih melelahkan. Tak heran jika mereka berbondong-bondong memburu sepiring nasi hangat dan es penambah energi sebagai amunisi.
Mereka juga antusias menanyakan tentang diriku kepada Bu Sum. Entah betulan penasaran atau sekadar basa-basi saja. Aku hanya tersenyum atau sesekali mengangguk agar terlihat santun.
"Cantik banget. Calon mantu Bu Sum, ya?"
"Ngawur! Anak saya yang paling besar masih SMP."