Beberapa pemuda memesan kopi, pukul lima petang. Seharusnya, aku dan Bu Sum bisa mulai beberes seandainya mereka tidak datang. Menurut Bu Sum, memang tak biasanya mereka melipir setelah jam pulang. Kebiasaan ini mulai terbentuk sejak aku bekerja di sini.
"Paling mereka cuma cari perhatian, biasalah darah muda. Enggak usah takut, tapi tetap harus berhati-hati, tetap jaga sikap."
Begitu Bu Sum menasihatiku, yang sekonyong-konyong langsung kupatuhi. Berikutnya, aku melayani pesanan mereka sesuai SOP tak tertulis: harus selalu ramah meski badan sudah lelah. Yang lebih menyebalkan, mereka menghabiskan sore bersama beberapa batang rokok, sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk sekadar menghabiskan segelas kopi.
Sesekali mereka juga bertanya perihal latar belakangku di sela embusan asap cerutu. Beberapa pertanyaan kujawab singkat, sengaja kutunjukkan gestur tidak nyaman, dengan harapan mereka sadar dan berhenti bertanya. Jika tidak berhasil, Bu Sum yang akan angkat bicara.
"Sana, kamu mandi saja. Palingan mereka pembeli terakhir, biar saya yang jaga," titah Bu Sum ketika melihat air mukaku yang mulai keruh.
"Nanti saja, Bu, setelah beres-beres warung. Biar sekalian."
"Biar saya saja. Tinggal sedikit kok, kan tadi sebagian sudah kamu cuci. Sana mandi!"
Maka, tak ada lagi alasan untuk mengelak. Aku segera menuju bilik untuk mengambil pakaian ganti—sengaja ganti baju di kamar mandi agar tidak perlu wara-wiri hanya berlilitkan handuk. Saat beralih menuju kamar mandi di belakang warung, sekilas kudengar celetuk dari salah satu pemuda: "Kabur dia. Elu sih, terlalu agresif." Entah apa maksudnya.
Di kamar mandi, aku menyempatkan diri selama beberapa menit untuk bengong. Berjongkok dengan pakaian utuh, menatap titik tak tentu, berkali-kali mengembuskan napas pasrah, pikiran kosong dan melayang-layang entah ke mana. Sekilas aku rindu Bapak dan Emak, sekilas hatiku panas mengingat Mamak, sekilas aku kecewa pada Budhe Mari, sekilas aku mengutuk kakak kelas yang melucuti harga diriku di gudang sekolah, dan sekilas aku menyalahkan Tuhan atas takdir yang Dia berikan.
Lamunanku buyar tatkala air telah memenuhi ember di depanku, meluber hingga menyentuh jari-jari kaki. Kuembuskan napas sekali lagi, lebih panjang dan dalam. Masih dengan setengah melamun, kubuka satu per satu pakaian.
Bruk!
Mataku terbelalak sempurna ketika kudengar suara dentum dari belakang kamar mandi. Kudengar suara rintihan seorang lelaki. Saat itu juga kukenakan pakaian yang baru saja kulepas. Bahkan setetes air pun belum menyentuh tubuhku.