Lampu jalanan mulai dinyalakan ketika para kuli bangunan kembali ke warung Bu Sum. Aku masih terduduk kaku di bangku, di samping kompor minyak tempat Bu Sum memasak. Air mataku kering, tetapi tidak dengan hatiku.
"Gimana?" Bu Sum meminta kepastian.
"Sudah diurus sama satpam. Brengsek betul!" jawab seorang.
"Ya, tua-tua keladi. Makin berumur, makin tak tahu diri!" timpal yang lain.
Bagiku, tua atau belia, mengintip orang lain tetap tidak dapat dibenarkan.
"Sudah, Mbak, tenangkan dirimu. Dia pasti mendapatkan hukuman yang pantas."
Lalu bagaimana dengan pelaku-pelaku lainnya yang kemungkinan akan kutemui di kemudian hari?
Jangkrik dan aneka serangga mulai memadukan suara, bersahut-sahutan dengan suara azan magrib yang mendayu dari kejauhan. Seharusnya, warung sudah tutup dan etalase bersih tandas tanpa setitik noda. Sore ini lain. Penampan-penampan berisi sisa lauk masih teronggok di tempatnya, menunggu giliran untuk dimandikan dan kembali ke pembaringan.
Para kuli sepakat untuk pulang. Mereka berpamitan kepada Bu Sum yang mulai meraih penampan. Aku tak dipamiti, mungkin mereka turut iba dan membiarkanku meresapi rasa malu. Aku juga tak turut membantu, sebab kaki dan tanganku telah layu.
"Saya cuci piring dulu di belakang, ya, Nduk. Kalau ada pembeli atau orang mencurigakan yang datang, langsung panggil saya."
Ah, Bu Sum. Jiwanya tetamat bersih dan penuh kasih. Ia merawatku dengan baik, meski kami tak memiliki ikatan apapun. Menurut beberapa kuli langganan, aku sudah seperti anak sulung Bu Sum. Dan aku diam-diam mengaminkannya.
Aku ingin memiliki ibu seperti Bu Sum. Masakannya enak-enak. Selalu sabar mengajariku resep masakan, tak pernah berdecak ketika aku menumpahkan bahan atau salah mengambilkan rempah. Yang mendongengiku soal masa lalunya. Yang mendoakanku dengan penuh kebaikan. Yang begitu yakin, bahwa penderitaanku akan segera berakhir. Yang membela dan melindungiku ketika ada kuli yang terlalu jauh menggoda. Tidak seperti....
"Ria!" teriak seorang lelaki dari teras warung.
Aku terperanjat dan bersiap kabur. Sialnya, otot kakiku tak dapat diajak kerja sama. Alih-alih pergi menjauh, aku malah tersungkur di bawah meja.
"Kenapa, Nduk?"
Bu Sum tergopoh-gopoh berlari dari belakang. Dibantunya aku yang masih kesusahan berdiri. Bu Sum menyadari kehadiran laki-laki di luar warungnya.