Bina Ria

Rizky Anna
Chapter #18

Pulang Kampung

Mas Iwan melajukan motornya dengan kencang, membelah jalanan yang penuh gemerlapan. Kami berdua saling diam sepanjang perjalanan. Aku berusaha menetralkan deru napas agar bisa tampak biasa-biasa saja setibanya di rumah Budhe Mari. Beruntung malam ini agak macet, sehingga aku punya waktu lebih lama untuk memikirkan skenario seandainya Budhe kembali mengungkit soal uang.

Setibanya di depan rumah, aku tak langsung masuk. Sengaja menunggu Mas Iwan. Ia yang kutunggu, malah melenggang masuk begitu saja. Aneh betul. Sikap Mas Iwan saat di rumah dan di luar sangat berbeda.

Tak berselang lama, Budhe keluar dan berduyun memelukku. "Ya Allah, Nduk, ke mana saja kamu?"

Aku hanya mematung, sebab tak sanggup menampik pelukan Budhe yang mendadak. Dari belakang punggung Budhe, berdiri seorang lelaki yang sangat kukenal. Kulitnya yang gelap tampak samar-samar sebab dikelilingi lampu yang temaram. Namun, senyum itu.... Seketika itu pula aku melepaskan diri dari Budhe dan berhambur memeluknya.

"Bapak!"

Bapak membalas pelukku lebih erat. Air mata yang sedari sore kutahan, akhirnya tumpah juga di pundak Bapak. Dibelainya rambutku penuh kasih, persis seperti saat aku masih kecil.

"Kamu ke mana? Bapak sudah tiga hari menunggu kamu di sini."

Rupanya, sejak tiga hari lalu, Mas Iwan telah berkeliling mencari keberadaanku. Dari Nyonya Diah, Bu Ambar, hingga melewati rumah-rumah besar lainnya; dengan harapan bisa bertemu denganku di antara rumah-rumah itu. Pantas saja Mas Iwan meyakinkan aku bahwa Budhe tak akan menyinggung masalah uang. Pantas saja Budhe langsung memelukku setibanya Mas Iwan di ruang tamu.

Kami menginap semalam di rumah Budhe. Kali ini hatiku lebih tenang karena ada Bapak. Meski jauh di dalamnya sedang bersiap bergemuruh sebab besok aku akan kembali ke kampung, ke rumah yang penuh luka dan amarah.

***

Aku sedang menabur pakan ayam ketika suara yang tak asing meneriakkan namaku. Belum sempat kujawab, sosoknya sudah berjalan mendekat. Kami saling berhadapan, dipisah oleh pagar bambu tipis sebatas lutut.

"Kamu ke mana aja, Ria? Aku kangen banget!"

Aku hanya diam. Mendengar kalimat itu justru membuat hatiku ngilu.

"Maaf, ya, waktu itu aku ikut menjauhimu. Aku diancam, kalau tetap berteman denganmu, nanti aku akan mengalami hal yang sama sepertimu."

Tepat saat kalimatnya tuntas, barulah aku berani menatap matanya. Mata Dina yang selalu menularkan keceriaan, kali ini berselimut penyesalan.

"Siapa yang mengancammu?"

"Anggun, ketua kelas." Alisku bertaut mendengar nama itu. Seolah mengerti kedunguanku, Dina melanjutkan kalimatnya, "Dia kan adiknya Agus."

"Agus?"

Dina mendelik. Kali ini ia yang menatapku penuh tanya. "Kamu enggak tahu namanya?" Kujawab dengan gelengan kepala. "Dia kan kakak kelas yang ... anu ...."

Tanpa membentuk susunan kalimat yang lengkap, aku bisa menebak arah bicara Dina. Ia sendiri tampak salah tingkah karena tiba-tiba membahas topik sensitif ini. Aku hanya menimpali dengan "Oh," singkat.

Demi menepis rasa canggung yang telanjur menyelimuti, Dina kembali berbasa-basi mengajakku ke rumah Arman. Aih, bagaimana pula kabarnya. Terakhir bertemu, aku malah mengabaikan panggilannya. Dalam hati, terbesit rindu pada sosok Arman yang tak pernah marah dan selalu melindungiku. Kecuali dari amukan Mamak, karena Arman juga takut.

"Ayo, mau ikut enggak? Memangnya kamu enggak kangen?"

Lihat selengkapnya