Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin. Memastikan pakaianku telah terbalut sempurna. Celana jeans abu-abu, kemeja kotak-kotak hitam-putih, dan kerudung paris biru muda. Aku ingin tampil sempurna, meski sekadar untuk memenuhi janji makan bakso belaka.
Kulirik jam bergambar Hello Kitty di dinding. Sudah lewat seperempat jam dari waktu yang ditentukan. Aku bisa saja datang ke rumahnya untuk memastikan kesediaannya makan bakso hari ini, tetapi entah mengapa, sebagian kecil dari diriku memaksaku untuk tetap di sini sembari menunggu ketidakpastian.
Tin!
Tak lama setelah merutuk, suara klakson terdengar nyaring dari depan. Kulongok dari jendela kamar, tampak punggung Arman yang sedang menunggangi Supra dengan mesin tetap menyala. Aku tak lantas keluar, sengaja membiarkannya menunggu terlebih dahulu. Mematut diri sekali lagi, merapikan ujung baju yang padahal sudah rapi, membenarkan lengkung kerudung agar tegak paripurna, sembari sesekali memajukan bibir sembari berpose di depan cermin.
Tin!
Klakson berbunyi sekali lagi. Entah mengapa jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Padahal pagi ini aku hanya akan makan bakso bersama Arman, teman masa kecilku. Bapak dan Emak juga sudah memberi izin, mereka menaruh kepercayaan penuh kepada Arman. Sedangkan Mamak, aku sengaja tak meminta izin kepadanya; ia juga tak pernah menegurku sejak pulang dari Bintaro.
Tin!
Setelah panggilan ketiga, barulah aku menyambar tas di atas kasur. Mengunci pintu. Menghampiri Arman yang telah kusut menunggu.
"Lama banget."
"Aku atau kamu yang lama?" cercaku, tak ingin disalahkan.
Arman terkekeh dan meminta maaf. Sejurus kemudian, matanya menyipit, menyusuri tubuhku naik-turun.
"Kenapa?"
"Tumben rapi banget?"
"Maksudmu, biasanya aku kumal?"
"Memang iya kan?"
"Heh!" Tanganku refleks maju menonyor kepalanya yang telanjang.
Selain mengendarai motor pada usia belia, tidak memakai helm juga sudah lazim di kampungku. Suatu kelaziman yang lantas memudahkan aksiku menempeleng kepala Arman yang lancang mengataiku kumal, meski aku tahu betul ia hanya bercanda.
"Ya sudah, ayo cepat naik. Kalau terlalu siang, keburu ramai warung baksonya."
Arman membukakan pijakan belakang, kemudian mengokohkan bahunya agar aku bisa berpegangan saat naik ke boncengan. Selama perjalanan, aku menyadari satu hal. Rupanya, bukan hanya aku yang mempersiapkan diri secara berlebihan. Hari ini Arman hanya memakai kaus oblong seperti hari-hari lain, rambutnya yang masih basah juga dibiarkan berantakan, tetapi dari jarak dekat cupingku mengendus dengan jelas aroma wangi yang terlampau pekat.
"Kamu habis mandi parfum?"
"Wangi kan?"