Bina Ria

Rizky Anna
Chapter #20

Kampung Halaman

Entah sudah berapa lama aku tinggal di kampung halaman pasca pulang dari perantauan. Tanah yang melahirkanku pada dunia penuh pesakitan. Tempat yang mengenalkan aku kepada luka dan dera duka. Aku tak berniat menghitungnya. Aku sudah kehilangan ambisi untuk berpacu dengan kehidupan. Kini, kubiarkan saja hidupku mengalir mengikuti arus air; dingin dan getir.

Namun, satu hal yang masih kusesalkan, di sini aku sangat kesepian. Jangan tanyakan kepadaku ke mana perginya Mamak sehari-hari, atau apa yang ia sibukkan. Aku tak pernah berniat mencari tahu.

Sejak kepulanganku bersama Bapak, Mamak memang tak pernah berulah lagi. Kami tak pernah bertegur sapa, tetapi dapat kulihat sorot tak senang dari sepasang matanya. Tak ada maaf yang terlontar dari mulutku maupun mulutnya. Kubiarkan saja. Setidaknya, ia tak pernah lagi memarahiku seperti yang lalu. Entah mantra apa yang disemburkan Bapak kepadanya selama aku merantau ke kota, sehingga mulutnya betah bungkam dalam waktu lama.

Sedangkan Bapak dan Emak, seperti biasa, menghabiskan hari di kebun. Terkadang Bapak menerima ajakan kawannya sebagai tenaga perbantuan kuli bangunan. Lumayan untuk menambah penghasilan sebelum masa panen, kata Bapak. Jika Bapak sedang menukang, aku yang menemani Emak di kebun. Itung-itung mengisi masa lapang sekalian kabur dari rumah yang jauh dari kata nyaman.

Namun, karena tenaga Bapak hanya dipakai untuk menggantikan tukang yang absen atau ketika mandor memajukan target penyelesaian; kesempatan "bermain-main" di kebun juga tak bisa kudapatkan setiap hari. Pernah aku merengek minta ikut ke kebun, duduk mengamati dari depok pun tak apa. Akan tetapi, Bapak bersikeras melarang dan memaksaku tetap tinggal di rumah.

Beruntung ada Arman yang sesekali bertandang ke rumah. Kadang siang, kadang sore, sesempatnya saja. Sejak ditahan karena menghajar Agus tempo hari, Arman tak lagi sekolah. Statusnya sama denganku; pengangguran dini. Bedanya, Arman punya setumpuk kesibukan membantu orang tuanya. Ia harus menyelesaikan pekerjaan yang diamanahkan terlebih dahulu sebelum menemuiku. Meski harus menunggu, aku tetap senang ada orang kampung (selain Bapak) yang masih mau menemuiku yang telah dicap hina ini.

Seperti siang ini. Arman sudah berpamitan kepada ayahnya untuk pulang dari ladang lebih cepat. Kemarin sore ia telah berjanji akan mengantarkan aku ke pasar.

"Besok kita ke pasar agak siang saja lah, biar sepi. Kamu kan enggak suka keramaian. Kalau kamu mabok di tengah pasar, nanti aku yang repot," tutur Arman saat berpamitan pulang.

"Katanya rela selalu direpotkan olehku?"

"Iya, tapi kamu kan berat. Aku enggak sanggup kalau harus gendong kingkong yang pingsan di tengah keramaian pasar."

"Dasar, monyet!"

Lalu, Arman ngakak sambil melajukan sepeda ontel milik ayahnya. Di kampungku, mengatai orang lain dengan sebutan binatang menjadi hal lumrah. Malah menjadi tanda bahwa hubungan mereka sangat dekat, sehingga tak ada sekat dan segan di antaranya.

Seperti yang sering Arman lakukan kepadaku. Ia selalu menyebutku kingkong karena aku suka pisang. Sebetulnya aku suka semua buah, tetapi karena uang Bapak terbatas, aku lebih sering memakan pisang dari kebun. Kata Arman, saat makan pisang, aku mirip seperti kingkong di bungkus obat nyamuk.

"Enak saja! Perumpamaannya yang lebih bagus, dong!" pintaku saat masih kanak-kanak.

"Ya sudah. Mirip kingkong di uang lima ratus."

"Sialan!"

Sejak saat itu, Arman selalu mengejekku kingkong, dan kubalas dengan hewan apa pun yang terlontar secara asal dari mulutku.

Lihat selengkapnya