Pada akhirnya, ketakutanku benar-benar terjadi. Warungku sepi. Sempat ramai pada awal pembukaan, itu pun sepertinya mereka membeli karena kasihan atau sekadar ingin menyenangkan hati gadis remaja ini saja. Beberapa orang malah menyinggung alasan aku berhenti sekolah, di sela menungguku membuatkan minuman pesanan mereka.
Namun, aku sama sekali tak menyesal. Aku sudah mencoba keinginanku. Aku jadi teringat pada Bu Sum dan warungnya yang tak pernah sepi. Pasti butuh waktu lama untuk membangun jaringan bisnisnya, walau pangsa pasarnya hanya kuli dan tukang bangunan. Entah sudah berapa ratus kali Bu Sum bangkit dari kegagalan hingga bisa bertahan.
"Pilihanmu ada dua, Ri," ucap Arman ketika aku meminta saran. "Kamu tetap sabar berjualan, atau ganti pekerjaan. Semuanya punya risiko."
"Apa aku coba buka warung sembako saja, ya, Man? Sepertinya akan lebih ramai. Enggak ada orang kampung yang enggak butuh sembako kan?"
Arman berpikir sejenak, sebelum kemudian menggeleng tegas. "Modalnya terlalu besar. Lagi pula, warung ramai bukan berarti sukses."
"Maksudnya?"
"Kalau kamu buka warung sembako, kemungkinan memang lebih ramai daripada cuma jualan es dan ciki. Tapi kamu juga perlu ingat kondisi orang di kampung kita. Kamu sudah siap kalau nanti bakal banyak yang utang dan susah ditagih? Apalagi kamu enggak enakan gitu, memangnya berani menagih utang ke pembeli? Yang ada malah kamu yang utang ke orang lain untuk kulakan dagangan. Boncos."
Lagi-lagi analisis dan pernyataan Arman merasuki pikiranku begitu mudahnya. Semua yang terucap dari mulutnya selalu membuatku mengangguk setuju, meski mulanya kami berbeda argumen. Terkadang aku heran, orang sepintar Arman, kenapa bisa mendapatkan nilai sekolah yang biasa-biasa saja; bahkan ada beberapa yang di bawah KKM?
"Analisis bisnismu bagus, Arman. Kenapa kamu enggak jualan saja?"
"Modal dari mana?" Arman bertanya retoris. Aku juga tidak menjawab. Kami sama-sama tahu keadaan di kampung. "Kamu masih bisa kerja sama orang, Ri, masih bisa menabung untuk modal usaha. Masih ada kesempatan untuk melanjutkan sekolah juga. Aku? Sudahlah bodoh, pernah dipenjara pula."
"Maaf, ya?"
"Aku enggak menyalahkanmu. Aku dipenjara karena kesalahanku sendiri. Aku yang memilih untuk berbuat anarki."
"Kenapa kamu merasa dirimu bodoh, Man?" Kucoba mengalihkan pembicaraan. Arman mengendikkan bahunya, tanpa melontarkan sepatah kata. "Menurutku, kamu enggak bodoh."
"Itu kan menurutmu."
Arman menyunggingkan bibir kirinya selama beberapa detik. Matanya menerawang ke kebun jagung di samping rumahku. Ia tak melanjutkan kalimatnya. Namun, dapat kulihat sorot matanya yang mulai redup. Kuembuskan napas panjang, seolah mengerti apa yang Arman pikirkan.
"Pernyataanmu bahwa aku enggak bodoh, enggak ada artinya, Ri. Bukan karena aku enggak percaya ke kamu, atau aku menganggapmu bohong. Sama sekali bukan. Tapi kamu juga tahu kan kalau kepintaran seseorang ditentukan dari prestasi akademis? Dari nilai di rapor. Sedangkan aku mudah lupa, enggak punya cukup waktu untuk belajar juga. Keadaanku enggak mendukung untuk diakui pintar secara formal."