Bina Ria

Rizky Anna
Chapter #22

Sad Eighteenth

Berkali-kali aku gagal mendapat pekerjaan, berkali-kali aku merutuki keadaan. Berkali-kali pula aku mengeluh kepada Arman. Ia selalu diam mendengarkan, tak banyak komentar. Arman selalu tahu kapan saatnya memberi nasihat dan kapan saatnya hanya perlu menyiapkan telinga.

Berkat Arman, aku bertahan cukup lama. Biar muak begitu, tahu-tahu sudah empat tahun aku mengadu nasib di kampung sendiri. Empat kali lebaran yang tentu saja diteror pertanyaan oleh keluarga yang hanya penasaran. Aku paling malas jika sudah ada yang bertanya soal sekolah, apalagi menyinggung rumor "tragedi gudang".

Lama-lama aku mulai belajar menulikan telinga. Sepertinya memang itu tabiat para tetangga yang senang bercampur tangan dengan masalah orang lain. Kuanggap itu sebagai bentuk kepedulian mereka, meski sebetulnya sakit juga.

Namun, dari semua itu, ada satu hal yang paling membuatku terguncang. Yakni ketika Bapak mengatakan akan ada anggota baru dalam keluarga.

"Kamu akan punya adik, Ria."

Aku yang sedang membantu mencabuti rumput liar, segera menghentikan tangan. Saat itu juga kepalaku menoleh kepada Bapak yang masih sibuk mengurus tanaman. Seolah ucapannya barusan bukan hal besar.

"Maksudnya, Pak?" Memang ini pertanyaan konyol. Namun, aku tak tahu lagi apa yang bisa kuucapkan untuk menutupi keterkejutanku.

"Mamakmu hamil. Sudah dua bulan setengah."

Kutatap Bapak dari samping. Alisku bertaut melihat mimik mukanya yang biasa saja. Tidak tampak bahagia meski akan punya anak lagi, tapi juga tampak tak khawatir jika anaknya bernasib sama sepertiku. Apakah semua ayah memang suka menyembunyikan perasaannya seperti Bapak?

Aku tak merespons lebih lanjut. Bapak juga tak mempermasalahkan. Hingga sore, aku bersikap biasa saja. Mengurus kebun seperti biasa. Bercanda dengan Emak seperti biasa. Bermain-main dengan kupu-kupu dan kepik pula.

Akan tetapi, jauh dalam hatiku merasa sakit tak terkira. Entah gejolak macam apa yang sedang kurasakan sekarang, belum pernah aku menemui perasaan semacam ini sebelumnya. Adik? Saat usiaku delapan belas tahun?

Selepas dari kebun, aku berpamitan kepada Bapak untuk langsung menuju ladang milik keluarga Arman. Tak ada lagi manusia yang bisa kupercaya selain dia.

*

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Arman, setelah khusyuk mendengar keluh kesahku.

Aku hanya mengendikkan bahu. Memangnya apa yang bisa kulakukan? Manusia sepertiku tak punya kesempatan untuk memilih. Bahkan, seandainya tidak ada Arman, mungkin aku juga tak punya kesempatan untuk menyuarakan perasaan.

"Kamu enggak suka punya adik, ya?"

"Bukan."

Kutatap Arman yang duduk di sampingku, bersandar pada tiang bambu. Bulir keringat membanjiri dahinya yang telah mengkilat diterpa matahari. Namun, di sela lelahnya, ia masih mau meladeniku.

"Lalu?"

"Aku takut, Man." Arman menoleh, menanti jawaban. Cukup lama aku diam demi memastikan perasaanku yang sebenarnya. "Aku takut jika adikku bernasib sama denganku."

Lihat selengkapnya