Hampir semua orang tua di dunia ini pasti menaruh harap kepada setiap anak yang lahir. Terlepas kelahiran itu di luar atau di dalam pernikahan. Begitu pula dengan orang tuaku. Greta Asha yang memiliki arti mutiara harapan menjadi pilihan nama untukku sebagai anak sulung. Beberapa orang biasanya akan memanggilku Reta karena lebih mudah.
Pengertian mutiara harapan di sini kuartikan sebagai ujung tombak. Bagaimana, tidak? Kalau direkam ulang, setelah lulus SMA, aku tidak bisa langsung mendaftar ke perguruan tinggi karena keterbatasan biaya. Aku harus bekerja terlebih dulu selama dua tahun untuk mengumpulkan biaya kuliah. Selama dua tahun itu, aku bekerja menjadi buruh pabrik dan berpindah dari satu pabrik ke pabrik yang lain sebagai pegawai kontrak. Terbilang waktu yang cukup lama untuk menabung, lantaran aku juga harus membagi setengah gajiku untuk Mama. Setelah cukup mampu menyeimbangkan pengeluaran, aku mendaftar kuliah khusus karyawan sembari bekerja menjadi staf administrasi di kantor notaris hingga hari ini.
Papa yang bekerja menjadi staf perusahaan rokok terbesar di negeri ini dengan gaji yang seharusnya cukup untuk menghidupi seorang istri dan ketiga orang anak. Malah memilih hidup berfoya-foya dan menimbun hutang untuk memenuhi gaya hidup demi menggaet wanita lain. Hobinya menimbun hutang itu semakin menggila saat jabatannya merangkak menjadi kepala bagian. Bahkan, pernah suatu waktu uang hasil hutang yang hampir menyentuh ratusan juta itu lenyap hanya dengan sekali transaksi untuk uang muka mobil mewah. Saking seringnya berhutang, tapi enggan membayar, nama ayahku terkena blacklist oleh Bank Indonesia.
Belum lagi, kecanduan Papa berselingkuh yang kian tahun malah makin parah. Tindakan seperti itu kusebut sebagai penyakit kronis stadium maksimal. Entah bisa sembuh atau tidak. Aku berharap penyakit itu segera enyah, karena aku muak melihat keadaan keluargaku yang sudah terlampau lama direngkuh duka. Malah banyak saudara yang berani memprediksi kalau penyakit itu tidak akan sembuh sampai jatah hidup Papa usai. Namun, Tuhan berkehendak lain. Aku ingat betul, usiaku masih lima belas tahun waktu itu. Papa mengalami kecelakaan beruntun yang menyisakan bekas jahitan sepanjang sepuluh sentimeter di kepala hingga hari ini. Sejak saat itu, Papa menghentikan kegemarannya menggaet wanita. Namun, masih tidak bisa menghentikan kecanduannya menimbun hutang.
Aku tak dapat membayangkan ketangguhan Mama yang mampu menghadapi tipe suami seperti Papa. Suatu hari, aku pernah bertanya tentang alasan Mama untuk mempertahankan Papa.
“Mama tahu rasanya ditinggal Bapak yang suka menikah lagi dan punya banyak istri, tahu rasanya luntang-lantung dirawat Mbah Buyut-mu karena Ibu pergi ke Jakarta sama suami barunya. Mama cuma enggak mau anak-anak Mama jadi korban perceraian dan luntang-lantung begitu. Makanya, Mama bertahan.”