BINAR ANGAN

Claudia Lazuardy
Chapter #2

PUNGGUK MERINDUKAN BULAN

Musim penghujan sudah menapak di anak tangga kedua. Hujan lebat jadi setia merengkuh Kota Malang dan menjadikan udara semakin dingin. Padahal suhu udara masih bertahan di rentang angka dua puluh hingga dua puluh delapan derajat celsius. Lebih hangat jika dibandingkan pada penghujung musim kemarau yang suhu terendahnya mencapai empat belas derajat celsius. Namun, udara dingin itu tak menyurutkanku untuk bangun tepat waktu tanpa alarm. 

Pukul tiga dini hari, mataku terbuka lebar seperti biasa. Derap langkah lamat-lamat terdengar dari lantai dua. Agaknya, Mama juga sudah bangun. Aku baru duduk di tepi ranjang setelah lima menit menggenapkan kesadaran. Lalu bergegas melangkahkan tungkai ke kamar mandi sebelum berkutat dengan bahan-bahan kue di dapur.

Pendapatanku tidak hanya dari gaji bulanan hasil bekerja sebagai staf kantor notaris, tetapi juga dari berjualan dessert box yang sudah berjalan hampir satu tahun belakangan ini. Karena hal ini pula yang membuatku bangun sangat pagi untuk merampungkan semua pesanan.

Orang sering menyebut dessert box ini adalah kudapan kekinian yang sedang hit. Terdiri dari kue, puding, atau ditambah krim keju yang ditumpuk berlapis-lapis, disiram dengan ganache yang masih ditaburi dengan varian topping, yang tumpukan lapisan itu disajikan di dalam kemasan kotak plastik. Aku menyediakan banyak pilihan rasa. Ada oreo dessert box, regal cheese/chocolate dessert box, red velvet, tiramisu, matcha dessert box, banoffe yang hingga saat ini masih menjadi menu paling favorit, serta mangga atau alpukat dessert box yang tersedia sesuai musim panen.

Jam menunjukkan pukul enam pagi saat aku menempelkan stiker nama Gendis Dessert Box di masing-masing kotak. Sebentar kemudian, Kalila datang dengan balutan jas hujan.

“Hujannya cuma di komplekku aja, belum jalan ke sini. Deras banget!” serunya dari teras depan. Tampak seperempat bagian celana panjang dan bagian depan kerudungnya basah kuyup. “Pinjam hair dryer, dong.” 

“Ambil sendiri di kamar.”

“Bisa masuk angin kalau gini ceritanya,” keluh Kalila seraya mencolokkan kabel hair dryer.

“Kamu harusnya enggak perlu repot-repot kemari. Aku bisa mengantar semua pesanan ini ke tempatmu sekalian berangkat ke kantor.”

“Santai aja, aku masuk kerja masih sejam lagi. Hari Jumat pagi begini sudah hujan, aku jadi malas berangkat.”

Aku mencebik. “Mending Jumat pagi atau Senin pagi?”

“Enggak dua-duanya, Gre. Kalau disuruh milih, mending Minggu pagi, dong. Aku enggak perlu susah payah siap-siap kerja dan bisa rebahan semauku.”

“Masih untung bisa kerja, punya gaji. Banyak pengangguran yang mati-matian cari kerja di luar sana.”

Kalila tertawa lantang. “Sejak kamu putus sama si kunyuk itu, pembawaanmu jadi lebih stabil.”

“Bukan lagi stabil, aku lebih bisa bebas. Hampir gila rasanya.”

“Bukan hampir. Kamu memang gila! Mempertahankan cowok model begitu hampir setahun. Orang lain pada memburu surga dunia, kamu malah membuat neraka duniamu sendiri.”

Bukan Kalila namanya, kalau tidak ceplas-ceplos begitu. Seorang staf pemasaran di sebuah perusahaan kosmetik perawatan kulit. Juga teman sejak SD yang berubah jadi sahabat sejak tiga tahun belakangan ini. Dia juga satu-satunya orang yang memaksaku lebih berpikiran logis.

“Dia masih mengganggumu?” tanya Kalila.

“Masih dengan gombalan dan rayuannya yang bikin pengin muntah.”

“Kalau kabar cowok yang dikenalin tetanggamu itu, bagaimana?”

Lihat selengkapnya