BINAR ANGAN

Claudia Lazuardy
Chapter #3

TERCEBUR KE DALAM KOLAM

Hujan lebat sudah mereda sejak pukul satu siang. Namun, mendung pekat seakan enggan melepaskan dekapannya. Hari ini jam pulang kantor jadi mundur satu setengah jam lebih lambat, karena masih ada satu transaksi jual beli. Pak Odi yang katanya akan tanda tangan transaksi jual beli tanah kaveling pukul setengah sembilan pagi tadi, mendadak mengubah jadwal menjadi jam empat sore. Namun, pria paruh baya itu baru datang ke kantor pukul setengah lima sore. Sungguh luar biasa.

Aku mendapati Bano yang siap siaga dan mondar-mandir dari ruangan Bu Halima ke meja kerjanya. Deo, Mbak Hana dan Mbak Alin masih meringkuk di kubikel mereka masing-masing di lantai dua, Mbak Sekar sudah pulang tepat waktu pukul empat karena harus memburu jadwal dokter kandungan. Sedangkan, Mas Gilang dan Mas Arman yang mendapatkan tugas luar bisa langsung pulang tanpa harus kembali ke kantor.

Saling menunggu dan membantu antar sesama rekan sudah menjadi sebuah tradisi dari awal mula kantor ini berdiri. Kami dengan sendirinya tidak ada yang beranjak sebelum pekerjaan salah satu orang dari kami rampung. Contohnya seperti kasus klien Bano yang tiba-tiba mengganti jadwal tanda tangan melebihi jam pulang kantor. 

“Kenapa belum ada yang pulang?” tanya Bano seraya memfotokopi ulang KTP. “Aku bisa tutup kantor sendiri.”

Mbak Hana tampak baru saja duduk di anak tangga paling bawah bersamaan dengan Deo. Mereka berdua menggeleng bersamaan. Sebentar kemudian, Mbak Alin turun dengan membawa kantong sampah dari lantai dua.

“Kita pulang, setelah kamu selesai,” timpal Mbak Alin. Ia berjalan cepat menuju tong sampah besar di halaman depan.

“Aku sudah selesai,” tandas Bano seraya mengangkat lembaran kertas hasil fotokopi.

“Tapi, Pak Odi masih betah di sini,” sahutku.

Mbak Hana mengangguk seraya bergidik. “Aku enggak mau lagi berurusan sama orang itu. Aku pernah kena damprat habis-habisan, karena proses sertifikasi rumahnya enggak bisa selesai secepat yang dia mau. Dia pikir, BPN(1) itu punya mbahnya? Kejadian itu sudah dua tahun lalu sih, tapi–”

“Tapi, masih terkenang,” sahut Deo.

Aku terkekeh. “Sama. Aku juga gitu.”

“Re, tolong ambilkan kuitansi, aku mau tulis tanda terima dulu.” Bano mengerucutkan bibirnya. Ia mengemas beberapa map dokumen dan membereskan mejanya sebelum duduk kembali untuk menulis tanda terima.

“Siapa aja yang dapat giliran masuk Sabtu besok?” tanya Mbak Hana.

“Aku, Deo, sama Mbak Sekar. Kenapa, Mbak?” jawabku.

Lihat selengkapnya